Senin, 15 Juni 2009

hooooeeeyyyyyyyyyy.............

MEMAHAMI NILAI- NILAI PERJUANGAN DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemilihan Puisi dan Pendekatan
Pada tahun 1920 Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, hal ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia termasuk di bidang bahasa dan sastra, akibatnya aktivitas bahasa dan sastra berkembang sesuai dengan kondisi setempat di bawah penjajahan Belanda. Sebagai akibat pelaksanaan politik etis atau balas jasa (Indonesia). Maka diusahakanlah aktivitas di tiga bidang yakni: Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi. Wujud pengembangan aktivitas edukasi adalah didirikannya sekolah-sekolah. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu badan yang kemudian bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Di samping itu, badan ini mengusahakan TAMAN PUSTAKA atau perpustakaan yang ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat, badan ini diperluas dan diperbesar seiring dengan makin banyaknya tamatan seolah yang memerlukan bahan-bahan bacaan, dan badan ini kemudian dinamakan Balai Pustaka.
Pengarang sastra 20-an dinamai Angkatan Balai Pustaka sesuai dengan nama penerbit yang merupakn pusat kegiatan sastra pada waktu itu. Karya-karya terbitan balai pustaka disebut-sebut sebagai karya yang mengawali sastra Indonesia, Balai pustaka memang memegang peranan penting, tetapi menilik hasi-hasilnya badan itu tidak dapat dikatakan mewakili seluruh kegiatan sastra 20an, karena perkembangan puisi tidak begitu bergairah dibanding dengan roman, puisi dapat berkembang dan dikenal pada angkatan berikutnya atau pada angkatan Pujangga Baru. Meskipun pada angkatan ini puisi hanya sedikit, tetapi pada angkatan Balai Pustaka juga melahirkan penyair terkenal seperti,
1.Muhhamad Yamin :Tanah Air dan Indonesia Tumpah Darahku.
2.Roestam effendi :Percikan Permenungan.
3.Sanusi pane :Pancaran Cinta dan Puspa Mega.
Selain mereka bertiga, masih ada bebrapa penyair yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka, antara lain:
1. Aman Datuk Mojoindo : Syair si Banso (gadis durhaka), 1931
: Syair Gul Bakawali, 1936
2. Tulis Sutan Sati : Sayair Siti Marhumah yang Saleh.
3. Hamzah Fansuri : Syair Perahu
Muhammad Yamin, Rustam Efendi dan Sanusi Pane yang disebut-sebut sebagai penyair Balai Pustaka sebenarnya digolongkan pada pra pujangga baru atau sastra di luar Balai Pustaka atau sastra liar. Muhammad Yamin ingin mengangkat pemakaian bahasa Indonesia (yang pada waktu itu masih bahasa Melayu) karena pada waktu itu pemakaian bahasa Belanda merupakan ciri khas bagi masyarakat lapisan atas Bangsa Indonesia. Muhammad Yamin dengan tepat melihat ciri utama suatu bangsa ialah bahasa. Oleh sebab itu perjuangan untuk kemerdekaan bangsa harus disertai usaha memajukan bahasa sendiri. Hal itu ternyata ditunjukkan dalam ciptaan-ciptaannya yaitu Tanah Air dan Indonesia Tumpah darahku. Dengan semangat yang dijalankan oleh keyakinan yang tidak pernah goncang, ia menganjurkan cita-citanya dalam kata dan perbuatan. Dalam puisi “Bahasa Bangsa”, Muhammad Yamin terlihat sangat mengagungkan tanah airnya. Ia yakin bahwa perpecahan memang harus dihilangkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan.
Dalam puisi Muhammad Yamin, digambarkan kebesaran nusantara pada masa silam, tetapi pada perkembangan selanjutnya sajak-sajak itu mencakup tanah air dalam konteks yang lebih luas, meliputi seluruh nusantara. Selain Muhammad Yamin, Roestam Effendi adalah penyair yang terkenal juga pada angkatan Balai Pustaka. Salah satu karyanya adalah puisi yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi. Pada puisi ini tampak Roestam Effendi yang menginginkan adanya perubahan cita-cita kebangsaan. Roestam Effendi juga menulis puisi yang berjudul Tanah Air yang menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Puisi yang berjudul Mengeluh, mencerminkan sikap Roestam yang tidak rela bangsanya dalam cengkeraman penjajah.
Dalam mengkaji sebuah puisi ada beberapa pendekatan-pendekatan yang digunakan, pendekatan itu antara lain pendekatan mimetik, pendekatan obJektif, pendekatan pragmatik dan pendekatan ekspresif. Untuk mengapresiasi puisi Balai Pustaka, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan analitik dan pendekatan historis. Pendekatan analitik dipilih karena dalam mengapresiasi puisi tidak mungkin kita tidak menganalisis unsur instrinsik puisi tersebut. Sedangkan pendekatan historis dipilih karena puisi Balai Pustaka kebnyakan merupakan cerminan masyarakat pada masa itu, seperti pada puisi Muhammad Yamin yang didasarkan pada rasa cinta tanah air.

Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan dari pada kegiatan ini sesuai dengan latar belakang agar hasil dari kegiatan apresiasi puisi ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam kegiatan apresiasi puisi dan dapat bermanfaat bagi pembaca, maka penulis menggunakan pendekatan historis disamping pendekatan analitik. Kegiatan apresiasi dengan mengunakan pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mengungakap berbagai maksud yang tercermin dalam puisi Indonesia angkatan Balai Pustaka. Pendakatan analitik di sini berarti kegiatan apresiasi dimaksudkan untuk menggambarkan suatu unsur intrinsik puisi serta hubungan unsur-unsur puisi, jika dilihat dari pendekatan historis pada hakikatnya tujuannya untuk memahami puisi.

Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi.
Pendekatan analitik yaitu pendekatan yang memfokuskan perhatian terhadap karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dari realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek dan Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan instrinsik karena kajian difokuskan pada struktur instrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. Pendekatan ini memfokuskan pada struktur instrinsik puisi yang antara lain diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi dan persajakannya. Dalam analisis ini pengarang, realitas yang melatarbelakangi dan mungkin diacu, juga bagaimana pembaca memaknai puisi tersebut tidak dimaknai sama sekali.
Pendekatan analitik biasanya juga disebut sebagai pendekatan struktural. (Teeuw,1984) karya sastra dipandang sebagai suatu yang otonom berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Pendekatan ini bertujuan memaparkan secermat dan mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua unsure dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,1984).
Walaupun pendekatan struktural telah mampu menganalisis dan memaknai suatu karya sastra,tetapi pendekatan tersebut sebenarnya memiliki kelemahan. Pendekatan struktural memiliki empat kelemahan sehingga analisis dengan pendekatan tersebut harus dilanjutkan dengan analisis yang menggabungkan dengan pendekatan lainnya, misalnya pendekatan semiotik kritik A Teeuw (1984) terhadap pendekatan struktural:
a. New criticism secara khusus dan analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
b. karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarahnya.
c. Adanya struktur yang obyektif pada karya sastra makin diasingkan,sementara itu peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis structural.
d. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu dimenaragadingkan dan kehilanngan elevansi sosialnya.
Pendekatan historis adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya sastra dengan relitas atau kenyataan. Karya sastra dianggap sebagai tiruan ataupun cermin dari realitas. Pendekatan historis merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang, peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi terwujudnya karya sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan sastra.
Didalam pendekatan historis terdapat hal yang harus dipakai juga seperti biografi pengarang. Pemahaman biografi pengarang merupakan satu hal yang penting dalam upaya memahami kandungan makna dari suatu karya sastra.
Menurut teori mimesis, di dalamnya terdapat pendekatan histories yaitu bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau gambaran suatu realaistas yang menggambarkan keadaan di zamannya. Melalui pendekatan historis dalam karya sastra kita akan banyak mengetahui latar belakang mengapa karya sastra tersebut diciptakan dan peristiwa-peristiwa apa yang menjadi latar dari penciptaan karya sastra.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan historis adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya. Sering kali penciptaan karya sastra dipengaruhi oleh pandangan tentang kesastraan pada suatu zaman.
Selain itu, sebagai suatu pendekatan dalam mengapresiasi sastra, pendekatan histories bukan merupakan pendekatan yang semata-mata membahas aspek kesejarahan karena tujuan akhir pendekatan histories adalah untuk memahami atau mengapresiasi suatu karya sastra. Dengan kata lain, pada hakikatnya pendekatan histories juga merupakan jalan untuk mengapresiasi suatu karya sastra.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemahaman latar histories yang berkaitan dengan peristiwa kesejarahan pada suatu zaman, konvensi penciptaan atau aliran yang dianut serta biografi pengarang, menjadi semacam kunci pemahaman kandungan makna karya sastra yang diapresiasi.

Prosedur kerja apresiasi puisi dalam pendekatan analitik puisi angkatan balai pustaka
• Mencari berbagai macam referensi puisi angkatan Balai Pustaka.
• Membaca berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mamahami dan menghayati berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Memilih dan memilah beberapa puisi angkatan Balai Pustaka untuk dianalisis.
• Menganalisis beberapa puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mengaplikasikan beberapa puisi angkatan Balai Pustaka Yang telah dianalisis dalam bentuk makalah.


Berbeda dengan pendekatan Analitik, pendekatan histories lebih ditekankan pada peristiwa kesejarahan serta perkembanagn kehidupan sastra.
• Membaca untuk mengatahui peristiwa kesejarahan.
• Menganalisis latar belakang peristiwa kesejarahan.
• Mengaplikasikan latar belakang peristiwa kesejarahan


KARAKTERISTIK PUISI ANGKATAN 20-AN

Karakteristik Bahasa
Pada angkatan Balai Pustaka bahasa yang sering muncul adalah bahasa melayu tinggi, bahasa melayu tinggi sulit dipahami bagi kita karena sekarang bahasa yang kita gunakan bukanlah bahasa melayu. Seperti kutipan dalam puisi Bahasa, Bangsa sebagai berikut ini:

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang

Bahasa melayu yang ada di atas misalnya, /jana bejana/ yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti hidup.
Diksi atau pemilihan kata sangat berpngaruh dalam konstruksi puisi hubunganya dengan komposisi bunyi, sebagai contoh dalam puisi”Bahasa, Bangsa” Muhammad Yamin menulis salah satu baris berbunyi: Andalasku sayang, jana bejana/ Sejakkan kecil muda taruna/ maka kata dalam baris itu tidak dpt dibolak balik karena akan merusaka kontruksinnya. Pada angkatan Balai Pustaka bahasa puisinya bersifat konotatif atau brmakna konotasi, atu memiliki kemungkinan memiliki arti lebih dari satu, seperti kutipan berikut ini

Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda

Kata /bunda/ pada kutipan diatas memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu, bisa berarti negara, bansa ataupun tumpah darah sesuai dengan koherensi makna sebelumnya. Kata konkret seperti /kecil/, /anak/, /bunda/ yang dgunakn berfungsi sebagai imaji bagi pembaca supaya berdy bayang tinggi sehingga seolah-olah merasakan sendiri. Adapaun karakteristik yang menyangkut bahasa kias yakni /tidur si anak di pangkuan bunda/. Anak disini memiliki fungsi pengganti untuk seluruh masyarakat sumatra/ seluruh bangsa.sedangkn bunda disitu mewakili seluruh nusantara , selain bahasa kias dala karakteristik juga terdapat imajeri, dan sarana retorika.
Contoh imajeri taktil /seiap saat disimbur sukar/, dan sarana retorika /bermandi darah bermandikan dendam/, yang mmbermakna hiperbola.

Karakteristik Bentuk
Ada dua hal yang penting dalam karkteristik bentuk. Yang pertama adalah pengulangan bunyi yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope.
Brikut ini kutipan puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Efefendi.

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Desis pada sebuah kata dalam puisi memberikan efek tertentu, seperti kata /bukan/ pada baris satu dan tiga,/pandai/,pada baris dua dan,/musti/ pada baris empat. Memilkim rima abab. Sedankan alitrasi dapat ditemukan dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Effendi.

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Sedangkan yang kedua adalah verifikasi yan mencangkup rima, baris atau larik, dan satuan bentuk puisi. Puisi angkatan Balai Pustaka menggunakan rima rangkai. Barisnya biasanya berisikan 14 baris karena satuan bentuk puisi ini berupa soneta.


Karakteristik Isi
Karakteristik isi puisi mencangkup tema, nada, dan suasana, perasaan dalam puisi, amanat, dan nilai puisi. Tema yang dipajkai pada ankatan Balai Pustaka berkutat pada masalah nasionalisme. Seperti yang termuat dalam puisi Bahasa Bangsa, Bukan Beta Bijak Berperi, Tanah Air, Mengeluh. Adanya pesan penyair dalam angkatan ini begitu kuat untuk bersatu,mencintai tanah air dan semangat nasinalisme.seperti dal puisi mengeluh, penyair mengungkapkan bahwa Indonesia adalah suatu keadaan yang diibaratkan bunga yang cantik menawan akan tetapi bangsanya sangat menderita karena penjajah. Kutipan puisi mengeluh,

Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam,
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam

amanat yang terkandung dalam pisi angkatan Balai Pustaka adalah adanya keinginan untuk mempersatukan bangsa untuk bisa bebas dari belnggu penjajah Hindia Belanda, sehingga Indonesia mampu hidup makmur. Nilai yang muncul pad angkatan Balai Pustaka yang diwakili oleh Muhammad Yamin dan Roestam Effendi adalah kecintaan terhadap tanah air.


HASIL APRESIASI PUISI ANGKTAN BALAI PUSTAKA
Puisi I;
Bahasa bangsa

Selagi kecil berusia muda,
Tidur sianak dipangkuan bunda
Ibu bernyanyi. Lagu dan dendang,
Memuji sianak banyaknya sedang

Berbuai sayang malam dan siang,
Buaian tergantung di tanah tuan

Terakhir dibangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri,
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka sertakan rayu,

Perasaan serikat menjadi padu,
Dalam bahasanya permain merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Dimana sumatra, disitu bangsa
Dimana perca, disana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang
(1920)

Dari Segi Bahasa
Dari segi bahasanya,” Bahasa Bangsa” karya Muhammad Yamin menggunakan bahasa melayu tinggi. Sedangkan diksi/pemilihan kata yang digunakan dalam puisi di atas menggunakan kata yang memiliki makna konotasi seperti yang terdapat pada: /tanah moyang/, /jana bejana/. Tanah moyang disini memiliki makna tempat kelahiran atau tempal asal usul kita dalam puisi di atas sumatera, dan jana bejana mengandung makna pertautan makna. Dalam puisi di atas terdapat kata-kata yang bersifat kongkrit , yakni: /si anak/, /bunda/, /tanah moyang/, /bangsa/, /keluarga/, /besar/, /tanah melayu/, / Sumatera/, /perca/, /andalasku/, /dan/, /pemuda/. Maksud konkrit disini digunakan untuk menekankan daya bayang. Selain itu puisi “Bahasa Bangsa” menggunakan gaya bahasa majas metonimia, yakni menyebut atribut atau merk: /perca/ dan /andalasku/. Andalasku disini mewakili nama merk. Sarana retorika yang tampak pada puisi “Bahasa Bangsa” adalah antitesis seperti yang terdapat pada kata /berduka suka/, /meratap menangis bersuka raya/, dan /dalam bahagia bala dan baya/. Imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seperti yang terdapat pada kutipan berikut.

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasannya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Dari Segi Bentuk
Puisi dibedakan menjadi dua yakni: bunyi, yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan verifikasi. Segi bentuk yang pertama dalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi.
Rima dalam puisi diatas adalah /aabb/aa/aabb/aabb/aaaa/aabbcc/.
Alitersi yang muncul terdapat pada bait kedua:

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Bentuk puisi kedua versivikasi yang mencakup rima dan satuan bentuk. Rima yang terdapat puisi ini adalah rima rangkai. Sedangkan satuan bentuk puisinya bebas.

Dari Segi Isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana,perasaan dalam puisi, amanat serta nilai. Dalam puisi diatas mengandung tema cinta tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah keinginan yang gigih untuk menciptakan suatu persatuan kususnya di Sumatra. Perasaan puisi diatas berisi tetntang rasa cinta terhadap pulau tempat ia dilahirkan. Amanat yang terkandung dalam puisi di atas adalah rasa bersatu diwaktu senang dan susah itu diperlukan. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai kecintaan terhadap tanah air yang dalam puisi diatas diungkpan Sumatra.

Puisi II:

Bukan beta bijak berperi

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Sarat-sarat saya mugkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya susah sesaat
sebab madahan tidak nak datang
sering saya sulit menekat
sebab terkurung lukisan mamang

bukan beta bijak berlagu
dapat melemah bingkaian pantun
bukan beta berbuat baru
hanya mendengar bisikan alun

Dari Segi Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah melayu tinggi. Diksi yang digunakan pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada /budak Negeri/ yang menggandung makna orang yang dijajah Belanda(pada waktu itu). /Lagu/ yang mengandung makna karya sastra yang dibuat pengarang. /Alun/ yang mengandung makna kata-kata hati penyair. Kata-kata yang bersifat konkret juga didapati dalam puisi ini, yakni:/Beta/,/saya/,/susah/. Imajeri yang muncul adalah auditif yang tampak pada bait ke-lima.

Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.

Dari segi bentuk
Puisi ini dibedekan menjadi dua yakni bunyi dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencakup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi ini adalah /abab/acac/dede/fgfg/eded/. Aliterasi yang aada pada puisi ini, terdapat pada bait pertama yaitu:

Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair,
Bukan bet budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.


Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain:/beta/,/bijak/,/bukan/,/berperi/,/budak/. Bentuk puisi yang kedua aadalah verifikasi yang mencakup rima baris dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi ini adalah lima rangkai. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 20 baris. Satuan bentuknya adalah stanza. Penggulangan kata atau ungkapan dalam puisi diatas antara lain:/sarat-sarat/,/degup-degupan/.
Persajakan sangat menarik perhatian Roestam. Tak ada satupun sajaknya yang mengabaikan persajakan. Suatu hal yang mengembirakan adalah kesanggupanya untuk menghindari kebiasaan buruk yang lazim dalam puisi melayu.

Dari segi isi
Tema yang diangkat adalah nasionalisme. Perasaan dalam puisi ini yaitu penyair merasa terkekang serta ingin bebas halangan yang ia hadapi. Sajak ini pada dasarnya merupakan manifestasi sikap dan cita-cita angkatan muda terhadap persajakan yang lama, adat istiadat usang dan peraturan kaum penjajah yang menghalang-halangi cit-cita kebangsaan yang sedang tumbuh. Nada dan suasana puisi adalah penyair ingin meninggalkan persajakan lama dan kekangan dari penjajah Belanda. Amanat dalam puisi ini bahwa penyair menghendaki pembaca untuk mengikuti keinginan hati dan tidak terkekang pada peraturan yang dapat menghambat kemajuan.


Puisi III

Tanah air

Berpadang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau.
Berlangit bertudung awan
Burgunung berbukit, berpantai lautan
O, tanah airku, yang indah sangat.

O, tanah airku yang beta cinta
Di malam menjadi mimpi,
Disiang merayan hati,
Terkurang madahan syair
Pelagukan ihtisyim asmara kadir
O, tanah airku yang beta cinta


Dari segi bahasa
Puisi diatas menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi, seperti kutipan dibawah ini:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kata- kata yang bersifat kongkret puisi Angkatan Balai Pustaka ini,antara lain yakni:/berlembah/, /bergunung/, /berbukit/, /lautan/. Selain itu puisi Tanah Air menggunakan imajeri visual seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat



Dari segi bentuk
Kutipan puisi “Tanah Air” adalah sebagai berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kutipan di atas mengandung aliterasi, Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain: /berlembah/, dan /bekasan/;/berlangit/, dan/bertudung/: serta/bergunung/, /berbukit/, dan/berpantau/. Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima ,baris,dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi Tanah Air adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehingga satuan bentuknya adalah soneta.

Dari segi isi
Isi puisi memiliki cakupan antara lain tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi Tanah Air adalah kecintaan terhadap tanah air. Nada dan susana puisi tersebut memberikan suatu penggambaran nusantara yang indah. Perasaan dalam puisi diatas berisikan tentang ungkapan kecintaan terhadap tanah air. Amanat yang terkandung didalam puisi tersebut bahwa nusantara yang begitu kaya dan indah harus selalu dijaga. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai nasinalisme dan menumbuhkan kecintan terhadap tanah air yakni Indonesia.

Puisi IV
Mengeluh
I
Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam

Menangis mata melihat makhluk
Berharta bukan berhakpun bukan
Inilah asib negeri nanda
Memerah madu menguruskan badan

Ba’mana beta bersuka cita
Ratapan rakyat riuhan gaduh
Membobos masuk menyayu kalbuku

Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh
Menghimpit madah, gubahan cintaku


II
Bilakah bumi bertabur bunga
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Di petik jari, yang lemah lembut
Ditandai sayap kemerdekaan rakyat?

Bilakah lawan bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada terkata?

Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna syairku
Disitulah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput manikam bangsaku



Dari segi bahasa
Pada puisi diatas banyak di temukan diksi yang digunakan menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi seperti:/ suara sebat sedaan rusuh/ yang mengandung makna isak tangis. Kata-kata yang bersifat konktret juga ditemukan dalam puisi Angkatan Balai Pustaka, yakni:/beta/, /bunga/, /makam/, /darah/, /mata/, /makluk/, /negri’ nanda/, /badan/, /ra’yat/, /bumi/, dll. Selain itu, di dalam puisi Mengeluh imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seprti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini:

Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam


Dari segi bentuk
Segi bentuk dalam puisi ini dibedakan menjadi dua yakni, bunyi menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi “mengeluh” adalah bebas. Selain itu, aliterasi ada pada kutipan berikut ini:

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna sa’irku

Perulangan bunyi konsonan pada utipan di atas antara lain: /baru/, /bermohon/, dan/bta/ ;/badanku/, /berkubur/, dan/ bunga/, seta/bunga/ dan/bingkisan/.
Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima,baris, dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi mengluh adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehinga satuan bntuknya adalah soneta.

Dari Segi isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi “mengeluh” adalah kekecewaan terhadap keadaan yang melanda tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah kesedihan yang mendalam. Perasaan dalam puisi di atas berisikan tentang ungkapan perasaan. Amanat yang terkandung di dalam puisi tersebut adalah menunjukkan
betapa negeri ini sangat tertindas sehingga lebih baik mati dari pada dijajah. Sedangkan nilai yan terkandung didalam puisi adalah nilai nasionalisme yang tidak mau terus- menerus tunduk pada penjajah karena baginya lebih baik mati dari pada dijajah.


NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Pada angkatan Balai Pustaka nilai yang terkandung dalam puisi-puisi yang dihasilkan kebanyakan lebih bersifat nasionalisme, selain puisi juga di temukan syair, seperti syair Putri Hijau dan Syair Siti aminah. Sastrawan yang tidak mau menndatangani nota ringks sprti Mohammad Yamin puisi yang dihasilkan lebi bersifat nasionalisme. Nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Mohammad Yamin adalah menumbuhkan sikap cinta tanah air. Hanya sedikit orang yang sadar bahwa kemerdekaan harus ditegakkan. Ada kalannya rasa takut terhadap penjajah di kesampingkan untuk memperoleh hak-hak kita. Untuk menegakkan kemerdekaan tersebut ditanamkan kecintaan terhadap tanah air. Cara tersebutlah yang digunakan oleh para penyair liar untuk menumbuhkan sikap nasinalisme penduduk pribumi terhadap tanah air. Persatuan merupakan bagian penting untuk mencapai suatu tujuan,baik dalam keadan bahagia maupun menderita persatuan harus tetap terjaga. Muhammad Yamin begitu menggebu untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, maka dengan media puisi ia tuangkan rasa cintannya. Seperti dalam kutipan tersebut ini;

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya.

Dalam bait diatas nilai nasinalisme sangat melekat pada cita-cita Muhammad Yamin.
Dalam puisi Roestam Effendi yang berjudul “mengeluh” nilai nasinalisme sangat kental seperti pada kutipan berikut:


Menagis mata melihat makluk
Berharta bukan brhakpun bukan
Inilah nasib negeri nada
Memerah madu mengurus badan

Bait diatas mengungkap penderitaan karena penjajahan Belanda. Penjajah menjadikan negara Indonesia semakin menderita.



























PENUTUP
KESIMPULAN
Puisi angkatan Balai Pustaka pada umumnya bertemakan nasionalisme, cinta tanah air. Puisi-puisi angkatan ini bertujuan memberikan semangat pada seluruh pribumi untuk mencintai tanah airnya. Betapa tidak enak jika hak-hak kita selalu di ambi orang/ penjajah.
Pada masa ini merupakan masa bangkitnya pengarang-pengarang untuk mengungkapkan isi hatinya demi negara walau pada masa ini adalah masa yang sulit karena adanya kekangan dari penjajahan. Selain itu adanya batasan karya yang menghambat perkembangan sastra kususnya yang berbau nasionalisme demi memperoleh hak-hak yang semestinya.





















Daftar Pustaka

Alisjahbana, S Takdir. 1978. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: CV. Sinar Baru
Enre, Fachrudin Ambo. -------. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa
20-an. Jakarta: Gunung Agung
Harnoko, Dik. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Rosidi. Ajib. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Sarjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Waluyo, Herman.J. -------. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga






















MEMAHAMI NILAI- NILAI PERJUANGAN DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemilihan Puisi dan Pendekatan
Pada tahun 1920 Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, hal ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia termasuk di bidang bahasa dan sastra, akibatnya aktivitas bahasa dan sastra berkembang sesuai dengan kondisi setempat di bawah penjajahan Belanda. Sebagai akibat pelaksanaan politik etis atau balas jasa (Indonesia). Maka diusahakanlah aktivitas di tiga bidang yakni: Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi. Wujud pengembangan aktivitas edukasi adalah didirikannya sekolah-sekolah. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu badan yang kemudian bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Di samping itu, badan ini mengusahakan TAMAN PUSTAKA atau perpustakaan yang ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat, badan ini diperluas dan diperbesar seiring dengan makin banyaknya tamatan seolah yang memerlukan bahan-bahan bacaan, dan badan ini kemudian dinamakan Balai Pustaka.
Pengarang sastra 20-an dinamai Angkatan Balai Pustaka sesuai dengan nama penerbit yang merupakn pusat kegiatan sastra pada waktu itu. Karya-karya terbitan balai pustaka disebut-sebut sebagai karya yang mengawali sastra Indonesia, Balai pustaka memang memegang peranan penting, tetapi menilik hasi-hasilnya badan itu tidak dapat dikatakan mewakili seluruh kegiatan sastra 20an, karena perkembangan puisi tidak begitu bergairah dibanding dengan roman, puisi dapat berkembang dan dikenal pada angkatan berikutnya atau pada angkatan Pujangga Baru. Meskipun pada angkatan ini puisi hanya sedikit, tetapi pada angkatan Balai Pustaka juga melahirkan penyair terkenal seperti,
1.Muhhamad Yamin :Tanah Air dan Indonesia Tumpah Darahku.
2.Roestam effendi :Percikan Permenungan.
3.Sanusi pane :Pancaran Cinta dan Puspa Mega.
Selain mereka bertiga, masih ada bebrapa penyair yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka, antara lain:
1. Aman Datuk Mojoindo : Syair si Banso (gadis durhaka), 1931
: Syair Gul Bakawali, 1936
2. Tulis Sutan Sati : Sayair Siti Marhumah yang Saleh.
3. Hamzah Fansuri : Syair Perahu
Muhammad Yamin, Rustam Efendi dan Sanusi Pane yang disebut-sebut sebagai penyair Balai Pustaka sebenarnya digolongkan pada pra pujangga baru atau sastra di luar Balai Pustaka atau sastra liar. Muhammad Yamin ingin mengangkat pemakaian bahasa Indonesia (yang pada waktu itu masih bahasa Melayu) karena pada waktu itu pemakaian bahasa Belanda merupakan ciri khas bagi masyarakat lapisan atas Bangsa Indonesia. Muhammad Yamin dengan tepat melihat ciri utama suatu bangsa ialah bahasa. Oleh sebab itu perjuangan untuk kemerdekaan bangsa harus disertai usaha memajukan bahasa sendiri. Hal itu ternyata ditunjukkan dalam ciptaan-ciptaannya yaitu Tanah Air dan Indonesia Tumpah darahku. Dengan semangat yang dijalankan oleh keyakinan yang tidak pernah goncang, ia menganjurkan cita-citanya dalam kata dan perbuatan. Dalam puisi “Bahasa Bangsa”, Muhammad Yamin terlihat sangat mengagungkan tanah airnya. Ia yakin bahwa perpecahan memang harus dihilangkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan.
Dalam puisi Muhammad Yamin, digambarkan kebesaran nusantara pada masa silam, tetapi pada perkembangan selanjutnya sajak-sajak itu mencakup tanah air dalam konteks yang lebih luas, meliputi seluruh nusantara. Selain Muhammad Yamin, Roestam Effendi adalah penyair yang terkenal juga pada angkatan Balai Pustaka. Salah satu karyanya adalah puisi yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi. Pada puisi ini tampak Roestam Effendi yang menginginkan adanya perubahan cita-cita kebangsaan. Roestam Effendi juga menulis puisi yang berjudul Tanah Air yang menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Puisi yang berjudul Mengeluh, mencerminkan sikap Roestam yang tidak rela bangsanya dalam cengkeraman penjajah.
Dalam mengkaji sebuah puisi ada beberapa pendekatan-pendekatan yang digunakan, pendekatan itu antara lain pendekatan mimetik, pendekatan obJektif, pendekatan pragmatik dan pendekatan ekspresif. Untuk mengapresiasi puisi Balai Pustaka, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan analitik dan pendekatan historis. Pendekatan analitik dipilih karena dalam mengapresiasi puisi tidak mungkin kita tidak menganalisis unsur instrinsik puisi tersebut. Sedangkan pendekatan historis dipilih karena puisi Balai Pustaka kebnyakan merupakan cerminan masyarakat pada masa itu, seperti pada puisi Muhammad Yamin yang didasarkan pada rasa cinta tanah air.

Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan dari pada kegiatan ini sesuai dengan latar belakang agar hasil dari kegiatan apresiasi puisi ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam kegiatan apresiasi puisi dan dapat bermanfaat bagi pembaca, maka penulis menggunakan pendekatan historis disamping pendekatan analitik. Kegiatan apresiasi dengan mengunakan pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mengungakap berbagai maksud yang tercermin dalam puisi Indonesia angkatan Balai Pustaka. Pendakatan analitik di sini berarti kegiatan apresiasi dimaksudkan untuk menggambarkan suatu unsur intrinsik puisi serta hubungan unsur-unsur puisi, jika dilihat dari pendekatan historis pada hakikatnya tujuannya untuk memahami puisi.

Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi.
Pendekatan analitik yaitu pendekatan yang memfokuskan perhatian terhadap karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dari realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek dan Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan instrinsik karena kajian difokuskan pada struktur instrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. Pendekatan ini memfokuskan pada struktur instrinsik puisi yang antara lain diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi dan persajakannya. Dalam analisis ini pengarang, realitas yang melatarbelakangi dan mungkin diacu, juga bagaimana pembaca memaknai puisi tersebut tidak dimaknai sama sekali.
Pendekatan analitik biasanya juga disebut sebagai pendekatan struktural. (Teeuw,1984) karya sastra dipandang sebagai suatu yang otonom berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Pendekatan ini bertujuan memaparkan secermat dan mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua unsure dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,1984).
Walaupun pendekatan struktural telah mampu menganalisis dan memaknai suatu karya sastra,tetapi pendekatan tersebut sebenarnya memiliki kelemahan. Pendekatan struktural memiliki empat kelemahan sehingga analisis dengan pendekatan tersebut harus dilanjutkan dengan analisis yang menggabungkan dengan pendekatan lainnya, misalnya pendekatan semiotik kritik A Teeuw (1984) terhadap pendekatan struktural:
a. New criticism secara khusus dan analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
b. karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarahnya.
c. Adanya struktur yang obyektif pada karya sastra makin diasingkan,sementara itu peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis structural.
d. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu dimenaragadingkan dan kehilanngan elevansi sosialnya.
Pendekatan historis adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya sastra dengan relitas atau kenyataan. Karya sastra dianggap sebagai tiruan ataupun cermin dari realitas. Pendekatan historis merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang, peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi terwujudnya karya sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan sastra.
Didalam pendekatan historis terdapat hal yang harus dipakai juga seperti biografi pengarang. Pemahaman biografi pengarang merupakan satu hal yang penting dalam upaya memahami kandungan makna dari suatu karya sastra.
Menurut teori mimesis, di dalamnya terdapat pendekatan histories yaitu bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau gambaran suatu realaistas yang menggambarkan keadaan di zamannya. Melalui pendekatan historis dalam karya sastra kita akan banyak mengetahui latar belakang mengapa karya sastra tersebut diciptakan dan peristiwa-peristiwa apa yang menjadi latar dari penciptaan karya sastra.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan historis adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya. Sering kali penciptaan karya sastra dipengaruhi oleh pandangan tentang kesastraan pada suatu zaman.
Selain itu, sebagai suatu pendekatan dalam mengapresiasi sastra, pendekatan histories bukan merupakan pendekatan yang semata-mata membahas aspek kesejarahan karena tujuan akhir pendekatan histories adalah untuk memahami atau mengapresiasi suatu karya sastra. Dengan kata lain, pada hakikatnya pendekatan histories juga merupakan jalan untuk mengapresiasi suatu karya sastra.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemahaman latar histories yang berkaitan dengan peristiwa kesejarahan pada suatu zaman, konvensi penciptaan atau aliran yang dianut serta biografi pengarang, menjadi semacam kunci pemahaman kandungan makna karya sastra yang diapresiasi.

Prosedur kerja apresiasi puisi dalam pendekatan analitik puisi angkatan balai pustaka
• Mencari berbagai macam referensi puisi angkatan Balai Pustaka.
• Membaca berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mamahami dan menghayati berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Memilih dan memilah beberapa puisi angkatan Balai Pustaka untuk dianalisis.
• Menganalisis beberapa puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mengaplikasikan beberapa puisi angkatan Balai Pustaka Yang telah dianalisis dalam bentuk makalah.


Berbeda dengan pendekatan Analitik, pendekatan histories lebih ditekankan pada peristiwa kesejarahan serta perkembanagn kehidupan sastra.
• Membaca untuk mengatahui peristiwa kesejarahan.
• Menganalisis latar belakang peristiwa kesejarahan.
• Mengaplikasikan latar belakang peristiwa kesejarahan


KARAKTERISTIK PUISI ANGKATAN 20-AN

Karakteristik Bahasa
Pada angkatan Balai Pustaka bahasa yang sering muncul adalah bahasa melayu tinggi, bahasa melayu tinggi sulit dipahami bagi kita karena sekarang bahasa yang kita gunakan bukanlah bahasa melayu. Seperti kutipan dalam puisi Bahasa, Bangsa sebagai berikut ini:

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang

Bahasa melayu yang ada di atas misalnya, /jana bejana/ yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti hidup.
Diksi atau pemilihan kata sangat berpngaruh dalam konstruksi puisi hubunganya dengan komposisi bunyi, sebagai contoh dalam puisi”Bahasa, Bangsa” Muhammad Yamin menulis salah satu baris berbunyi: Andalasku sayang, jana bejana/ Sejakkan kecil muda taruna/ maka kata dalam baris itu tidak dpt dibolak balik karena akan merusaka kontruksinnya. Pada angkatan Balai Pustaka bahasa puisinya bersifat konotatif atau brmakna konotasi, atu memiliki kemungkinan memiliki arti lebih dari satu, seperti kutipan berikut ini

Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda

Kata /bunda/ pada kutipan diatas memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu, bisa berarti negara, bansa ataupun tumpah darah sesuai dengan koherensi makna sebelumnya. Kata konkret seperti /kecil/, /anak/, /bunda/ yang dgunakn berfungsi sebagai imaji bagi pembaca supaya berdy bayang tinggi sehingga seolah-olah merasakan sendiri. Adapaun karakteristik yang menyangkut bahasa kias yakni /tidur si anak di pangkuan bunda/. Anak disini memiliki fungsi pengganti untuk seluruh masyarakat sumatra/ seluruh bangsa.sedangkn bunda disitu mewakili seluruh nusantara , selain bahasa kias dala karakteristik juga terdapat imajeri, dan sarana retorika.
Contoh imajeri taktil /seiap saat disimbur sukar/, dan sarana retorika /bermandi darah bermandikan dendam/, yang mmbermakna hiperbola.

Karakteristik Bentuk
Ada dua hal yang penting dalam karkteristik bentuk. Yang pertama adalah pengulangan bunyi yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope.
Brikut ini kutipan puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Efefendi.

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Desis pada sebuah kata dalam puisi memberikan efek tertentu, seperti kata /bukan/ pada baris satu dan tiga,/pandai/,pada baris dua dan,/musti/ pada baris empat. Memilkim rima abab. Sedankan alitrasi dapat ditemukan dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Effendi.

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Sedangkan yang kedua adalah verifikasi yan mencangkup rima, baris atau larik, dan satuan bentuk puisi. Puisi angkatan Balai Pustaka menggunakan rima rangkai. Barisnya biasanya berisikan 14 baris karena satuan bentuk puisi ini berupa soneta.


Karakteristik Isi
Karakteristik isi puisi mencangkup tema, nada, dan suasana, perasaan dalam puisi, amanat, dan nilai puisi. Tema yang dipajkai pada ankatan Balai Pustaka berkutat pada masalah nasionalisme. Seperti yang termuat dalam puisi Bahasa Bangsa, Bukan Beta Bijak Berperi, Tanah Air, Mengeluh. Adanya pesan penyair dalam angkatan ini begitu kuat untuk bersatu,mencintai tanah air dan semangat nasinalisme.seperti dal puisi mengeluh, penyair mengungkapkan bahwa Indonesia adalah suatu keadaan yang diibaratkan bunga yang cantik menawan akan tetapi bangsanya sangat menderita karena penjajah. Kutipan puisi mengeluh,

Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam,
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam

amanat yang terkandung dalam pisi angkatan Balai Pustaka adalah adanya keinginan untuk mempersatukan bangsa untuk bisa bebas dari belnggu penjajah Hindia Belanda, sehingga Indonesia mampu hidup makmur. Nilai yang muncul pad angkatan Balai Pustaka yang diwakili oleh Muhammad Yamin dan Roestam Effendi adalah kecintaan terhadap tanah air.


HASIL APRESIASI PUISI ANGKTAN BALAI PUSTAKA
Puisi I;
Bahasa bangsa

Selagi kecil berusia muda,
Tidur sianak dipangkuan bunda
Ibu bernyanyi. Lagu dan dendang,
Memuji sianak banyaknya sedang

Berbuai sayang malam dan siang,
Buaian tergantung di tanah tuan

Terakhir dibangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri,
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka sertakan rayu,

Perasaan serikat menjadi padu,
Dalam bahasanya permain merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Dimana sumatra, disitu bangsa
Dimana perca, disana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang
(1920)

Dari Segi Bahasa
Dari segi bahasanya,” Bahasa Bangsa” karya Muhammad Yamin menggunakan bahasa melayu tinggi. Sedangkan diksi/pemilihan kata yang digunakan dalam puisi di atas menggunakan kata yang memiliki makna konotasi seperti yang terdapat pada: /tanah moyang/, /jana bejana/. Tanah moyang disini memiliki makna tempat kelahiran atau tempal asal usul kita dalam puisi di atas sumatera, dan jana bejana mengandung makna pertautan makna. Dalam puisi di atas terdapat kata-kata yang bersifat kongkrit , yakni: /si anak/, /bunda/, /tanah moyang/, /bangsa/, /keluarga/, /besar/, /tanah melayu/, / Sumatera/, /perca/, /andalasku/, /dan/, /pemuda/. Maksud konkrit disini digunakan untuk menekankan daya bayang. Selain itu puisi “Bahasa Bangsa” menggunakan gaya bahasa majas metonimia, yakni menyebut atribut atau merk: /perca/ dan /andalasku/. Andalasku disini mewakili nama merk. Sarana retorika yang tampak pada puisi “Bahasa Bangsa” adalah antitesis seperti yang terdapat pada kata /berduka suka/, /meratap menangis bersuka raya/, dan /dalam bahagia bala dan baya/. Imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seperti yang terdapat pada kutipan berikut.

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasannya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Dari Segi Bentuk
Puisi dibedakan menjadi dua yakni: bunyi, yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan verifikasi. Segi bentuk yang pertama dalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi.
Rima dalam puisi diatas adalah /aabb/aa/aabb/aabb/aaaa/aabbcc/.
Alitersi yang muncul terdapat pada bait kedua:

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Bentuk puisi kedua versivikasi yang mencakup rima dan satuan bentuk. Rima yang terdapat puisi ini adalah rima rangkai. Sedangkan satuan bentuk puisinya bebas.

Dari Segi Isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana,perasaan dalam puisi, amanat serta nilai. Dalam puisi diatas mengandung tema cinta tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah keinginan yang gigih untuk menciptakan suatu persatuan kususnya di Sumatra. Perasaan puisi diatas berisi tetntang rasa cinta terhadap pulau tempat ia dilahirkan. Amanat yang terkandung dalam puisi di atas adalah rasa bersatu diwaktu senang dan susah itu diperlukan. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai kecintaan terhadap tanah air yang dalam puisi diatas diungkpan Sumatra.

Puisi II:

Bukan beta bijak berperi

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Sarat-sarat saya mugkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya susah sesaat
sebab madahan tidak nak datang
sering saya sulit menekat
sebab terkurung lukisan mamang

bukan beta bijak berlagu
dapat melemah bingkaian pantun
bukan beta berbuat baru
hanya mendengar bisikan alun

Dari Segi Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah melayu tinggi. Diksi yang digunakan pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada /budak Negeri/ yang menggandung makna orang yang dijajah Belanda(pada waktu itu). /Lagu/ yang mengandung makna karya sastra yang dibuat pengarang. /Alun/ yang mengandung makna kata-kata hati penyair. Kata-kata yang bersifat konkret juga didapati dalam puisi ini, yakni:/Beta/,/saya/,/susah/. Imajeri yang muncul adalah auditif yang tampak pada bait ke-lima.

Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.

Dari segi bentuk
Puisi ini dibedekan menjadi dua yakni bunyi dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencakup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi ini adalah /abab/acac/dede/fgfg/eded/. Aliterasi yang aada pada puisi ini, terdapat pada bait pertama yaitu:

Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair,
Bukan bet budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.


Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain:/beta/,/bijak/,/bukan/,/berperi/,/budak/. Bentuk puisi yang kedua aadalah verifikasi yang mencakup rima baris dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi ini adalah lima rangkai. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 20 baris. Satuan bentuknya adalah stanza. Penggulangan kata atau ungkapan dalam puisi diatas antara lain:/sarat-sarat/,/degup-degupan/.
Persajakan sangat menarik perhatian Roestam. Tak ada satupun sajaknya yang mengabaikan persajakan. Suatu hal yang mengembirakan adalah kesanggupanya untuk menghindari kebiasaan buruk yang lazim dalam puisi melayu.

Dari segi isi
Tema yang diangkat adalah nasionalisme. Perasaan dalam puisi ini yaitu penyair merasa terkekang serta ingin bebas halangan yang ia hadapi. Sajak ini pada dasarnya merupakan manifestasi sikap dan cita-cita angkatan muda terhadap persajakan yang lama, adat istiadat usang dan peraturan kaum penjajah yang menghalang-halangi cit-cita kebangsaan yang sedang tumbuh. Nada dan suasana puisi adalah penyair ingin meninggalkan persajakan lama dan kekangan dari penjajah Belanda. Amanat dalam puisi ini bahwa penyair menghendaki pembaca untuk mengikuti keinginan hati dan tidak terkekang pada peraturan yang dapat menghambat kemajuan.


Puisi III

Tanah air

Berpadang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau.
Berlangit bertudung awan
Burgunung berbukit, berpantai lautan
O, tanah airku, yang indah sangat.

O, tanah airku yang beta cinta
Di malam menjadi mimpi,
Disiang merayan hati,
Terkurang madahan syair
Pelagukan ihtisyim asmara kadir
O, tanah airku yang beta cinta


Dari segi bahasa
Puisi diatas menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi, seperti kutipan dibawah ini:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kata- kata yang bersifat kongkret puisi Angkatan Balai Pustaka ini,antara lain yakni:/berlembah/, /bergunung/, /berbukit/, /lautan/. Selain itu puisi Tanah Air menggunakan imajeri visual seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat



Dari segi bentuk
Kutipan puisi “Tanah Air” adalah sebagai berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kutipan di atas mengandung aliterasi, Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain: /berlembah/, dan /bekasan/;/berlangit/, dan/bertudung/: serta/bergunung/, /berbukit/, dan/berpantau/. Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima ,baris,dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi Tanah Air adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehingga satuan bentuknya adalah soneta.

Dari segi isi
Isi puisi memiliki cakupan antara lain tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi Tanah Air adalah kecintaan terhadap tanah air. Nada dan susana puisi tersebut memberikan suatu penggambaran nusantara yang indah. Perasaan dalam puisi diatas berisikan tentang ungkapan kecintaan terhadap tanah air. Amanat yang terkandung didalam puisi tersebut bahwa nusantara yang begitu kaya dan indah harus selalu dijaga. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai nasinalisme dan menumbuhkan kecintan terhadap tanah air yakni Indonesia.

Puisi IV
Mengeluh
I
Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam

Menangis mata melihat makhluk
Berharta bukan berhakpun bukan
Inilah asib negeri nanda
Memerah madu menguruskan badan

Ba’mana beta bersuka cita
Ratapan rakyat riuhan gaduh
Membobos masuk menyayu kalbuku

Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh
Menghimpit madah, gubahan cintaku


II
Bilakah bumi bertabur bunga
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Di petik jari, yang lemah lembut
Ditandai sayap kemerdekaan rakyat?

Bilakah lawan bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada terkata?

Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna syairku
Disitulah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput manikam bangsaku



Dari segi bahasa
Pada puisi diatas banyak di temukan diksi yang digunakan menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi seperti:/ suara sebat sedaan rusuh/ yang mengandung makna isak tangis. Kata-kata yang bersifat konktret juga ditemukan dalam puisi Angkatan Balai Pustaka, yakni:/beta/, /bunga/, /makam/, /darah/, /mata/, /makluk/, /negri’ nanda/, /badan/, /ra’yat/, /bumi/, dll. Selain itu, di dalam puisi Mengeluh imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seprti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini:

Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam


Dari segi bentuk
Segi bentuk dalam puisi ini dibedakan menjadi dua yakni, bunyi menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi “mengeluh” adalah bebas. Selain itu, aliterasi ada pada kutipan berikut ini:

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna sa’irku

Perulangan bunyi konsonan pada utipan di atas antara lain: /baru/, /bermohon/, dan/bta/ ;/badanku/, /berkubur/, dan/ bunga/, seta/bunga/ dan/bingkisan/.
Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima,baris, dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi mengluh adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehinga satuan bntuknya adalah soneta.

Dari Segi isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi “mengeluh” adalah kekecewaan terhadap keadaan yang melanda tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah kesedihan yang mendalam. Perasaan dalam puisi di atas berisikan tentang ungkapan perasaan. Amanat yang terkandung di dalam puisi tersebut adalah menunjukkan
betapa negeri ini sangat tertindas sehingga lebih baik mati dari pada dijajah. Sedangkan nilai yan terkandung didalam puisi adalah nilai nasionalisme yang tidak mau terus- menerus tunduk pada penjajah karena baginya lebih baik mati dari pada dijajah.


NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Pada angkatan Balai Pustaka nilai yang terkandung dalam puisi-puisi yang dihasilkan kebanyakan lebih bersifat nasionalisme, selain puisi juga di temukan syair, seperti syair Putri Hijau dan Syair Siti aminah. Sastrawan yang tidak mau menndatangani nota ringks sprti Mohammad Yamin puisi yang dihasilkan lebi bersifat nasionalisme. Nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Mohammad Yamin adalah menumbuhkan sikap cinta tanah air. Hanya sedikit orang yang sadar bahwa kemerdekaan harus ditegakkan. Ada kalannya rasa takut terhadap penjajah di kesampingkan untuk memperoleh hak-hak kita. Untuk menegakkan kemerdekaan tersebut ditanamkan kecintaan terhadap tanah air. Cara tersebutlah yang digunakan oleh para penyair liar untuk menumbuhkan sikap nasinalisme penduduk pribumi terhadap tanah air. Persatuan merupakan bagian penting untuk mencapai suatu tujuan,baik dalam keadan bahagia maupun menderita persatuan harus tetap terjaga. Muhammad Yamin begitu menggebu untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, maka dengan media puisi ia tuangkan rasa cintannya. Seperti dalam kutipan tersebut ini;

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya.

Dalam bait diatas nilai nasinalisme sangat melekat pada cita-cita Muhammad Yamin.
Dalam puisi Roestam Effendi yang berjudul “mengeluh” nilai nasinalisme sangat kental seperti pada kutipan berikut:


Menagis mata melihat makluk
Berharta bukan brhakpun bukan
Inilah nasib negeri nada
Memerah madu mengurus badan

Bait diatas mengungkap penderitaan karena penjajahan Belanda. Penjajah menjadikan negara Indonesia semakin menderita.






METAMORFOSA “JANCOK” (TEMAN ATAU KAWAN)
Hanif Hubbuddin A*
Kota Surabaya memiliki dialek khas Bahasa Jawa yang dikenal dengan Boso Suroboyoan. Begitu juga kata jancok yang muncul di kota surabaya memiliki konteks kesurabayaan yang sangat kental. Sehingga untuk memahami makna kata tersebut seseorang harus memahami konteks budaya Surabaya. Karena kata jancok yang dilahirkan di surabaya tersebut sedang mengalami proses pergeseran makna seiring dengan berkembangnya budaya Surabaya.
Kita sering mendengar atau barang kali mengucapkan kata jancok ini. Kata ini terkenal saru, dan populer dikalangan masyarakat Jawa Timur. Tidak sopan, memaki dan sebagainya inilah yang disandang oleh kata satu ini. Kata ini selalu muncul dalam kondisi sedang marah, kecewa, mengancam, bahkan bisa juga dalam berbagai situasi keakraban, dengan catatan keakraban yang ekstra akrab antar teman dekat.
Secara linguistik kata Jancok berasal dari kata 'encuk' yang memiliki padanan kata bersetubuh atau fuck dalam bahasa Inggris. Kata Jancok berasal dari frase 'di-encuk' menjadi 'diancok' lalu 'dancok' hingga akhirnya menjadi kata 'jancok'. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘jancuk’ ini lebih kurang artinya serupa dengan ‘kurangajar’, ‘brengsek’, ‘bangsat’ dan segala isi kebun binatang. Akan tetapi penggunaan kata inipun bisa berkonotasi akrab, khususnya diwilayah Surabaya. Sedangkan untuk daerah Jawa Timur bagian barat, kata ini biasa diperhalus menjadi ‘Diancuk’.
Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa kata-kata jancuk merupakan kata-kata keramat arek-arek suroboyo dalam mengusir penjajah. Ejaan lama kata jancuk adalah “DjanTjuk”. Yang berarti ” DJANdji seTija Untuk…”. Dalam suasana dijajah, tentu yang diharapkan adalah kemerdekaan. Maka muncullah ” Djandji setija untuk merdeka”. Disingkat DjanTjuk MERDEKA. Dan inilah konon yg membangkitkan semangat arek-arek suroboyo dalam menumpas penjajah.
Varian-varian dari Jancuk adalah diancuk, diamput, jamput, jangkrik, dan mbokne ancuk. Jangkrik merupakan pengalihan atau penghalusan dari kata jancuk, berkategori makian juga, agar masih bisa disebut orang yang sopan. Tapi kalau sudah ingin memaki karena betul-betul sudah sangat marah, pasti yang dipakai jancuk, bukannya jangkrik.
Demikian juga dengan jamput dan diamput. Ini levelnya antara jancuk dan jangkrik. Per vokal, sudah mendekati jancuk makian nan kasar, tetapi dibungkus dengan akhiran yang rada sopan. Ini terlihat dari pemilihan kata ‘put’ yang masih membuat bentuk bibir terlihat manis. Pada diamput maupun jamput masih ada upaya untuk menekan makian agar tak terlalu kasar. Lebih-lebih bagi mereka yang memiliki status sosial menengah ke atas. Atau, pada saat berada di kerumunan kelompok ini. Biasanya juga diucapkan secara perlahan.
Di wilayah Malang, kata ‘jancuk’ biasanya benar-benar untuk memaki dan dengan penekanan di bagian kata ‘cuk’-nya. Tetapi karena dipandang terlalu kasar, akhirnya dimodifikasi dengan kata ‘jancik’. Sering kata ini disingkat dengan ‘cuk’.
Penerapan kata “jancuk” memang bisa dipakai di dua tempat berbeda yang uniknya justru sangat bertolak belakang kondisinya. Kata jancuk bisa dipakai untuk orang yang marah dan sekaligus bisa dipakai untuk salam persahabatan dan pertemanan. Contohnya sebagai berikut‘Jancuk koen iki! Ngono ae gak iso’ (ungkapan jengkel) atau dalam situasi akrab ‘Yok opo cuk kabarmu?.
Kata jancuk juga bisa digunakan untuk mengekspresikan penekanan pada sesuatu. Baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Contoh yang negatif : ” jancuk elek-e gambar iku”. Ini menandakan bahwa gambar tersebut benar-benar jelek dan bahkan sangat jelek. contoh positf : ” jancuk, ayune arek iku”. Ini menandakan bahwa cewek tersebut memang sangat cantik.
Akhiran 'cok' atau 'cuk' bisa menjadi kata seru dan kata sambung bila penuturnya kerap menggunakan kata jancok dalam kehidupan sehari-hari. "Wis mangan tah cuk. Iyo cuk, aku kaet wingi lak durung mangan yo cuk. Luwe cuk.". Atau "Jancuk, maine Manchester United mambengi uelek cuk. Pemaine kartu merah siji cuk."
Menurut Roger Fowler dkk (dalam Eriyanto,2008:134) kata merupakan alat untuk memahami realita dunia. sebab kata memiliki dimensi sosial, dan budaya di mana ia diciptakan dan di mana ia dituturkan. Sehingga kata tidak bisa sembarangan untuk digunakan.
Begitupun juga dengan kata Jancok. Kata itu memilik corak dimensi sosial dan budaya Surabaya yang egaliter dan keterbukaan. Dan secara konvensi masyarakat Surabaya kata tersebut dipakai untuk menjadi kata umpatan pada saat emosi meledak, marah atau untuk membenci dan mengumpat seseorang.
Namun, kata itu memiliki sebuah sikap yang dinamis sebab sistem budaya dan sosial masyarakat juga terus berkembang seiring dengan bergantinya zaman. Oleh karena itu, konvensi-konvensi makna kata juga selalu mengalami perubahan makna baik makna meluas maupun makna menyempit. Baik ameliorasi maupun peyorasi.
Ketika orang merasa geli campur sewot mendengar kata ini, “jancuk” menjadi inspirasi bagi kalangan kampus. Sebut saja ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya), tidak sedikit mahasiswa tersebut mengumbar kata-kata itu selagi ngobrol, bercanda, bersapa dan aktivitas lainnya. Setelah dipopulerkan dari mulut ke mulut, tidak sedikit mahasiswa bahkan kalangan pelajar menjadikan kata “Jancok” sebagai inspirator dan motivator dalam belajar untuk meraih cita-cita. Sudah banyak jebolan ITS menduduki pucuk pimpinan instansi, organisasi, bahkan birokrat di negeri ini. Sebut saja Bapak Menteri Komunikasi kita. Singkat kata, yang dimaksud oleh mahasiswa ITS kata “Jancuk” adalah (Jadilah Anak Negara Cerdas Ulet Kreatif). Bebas dan sah mengumandangkan slogan, selagi bermakna, mengapa tidak.
Bahkan sekarang ini, di surabaya sudah ada komunitas yang sapaannya biasa menggunakan kata umpatan tersebut. Sebagaimana komunitas jancokers ITS, komunitas Jancokers Stikom, komunitas jancokers Unair, kamunitas jancokers UPN dan komunitas jancokers Unitomo di Surabaya. Ada juga yang baru-baru ini, nasi goreng “jancok”. Ide pembuatan nasi goreng jancuk ini berawal dari cerita Executif Chief Surabaya Plasa Hotel, cak Eko Sugeng Purwanto. Saat itu, Eko dan para head department surabaya plasa hotel sedang kumpul di cafe dan dalam kondisi sangat lapar atau lapar berat. Nah, teman-temannya tersebut meminta Eko untuk membuatkan nasi goreng. Tapi nasi goreng ini harus beda dari biasanya. Karena sangat capek sambil membuat nasi goreng dia mengeluarkan kata-kata jancuk. Dan jadilah sampai sekarang nasi goreng jancuk.
Dan yang paling terbaru adalah adanya film Grammar Suroboyoan yang dibuat oleh mahasiswa ITS. Dalam film tersebut terdapat kata-kata jancuk. Namun dalam film grammer Suroboyo yang sudah keluar 3 episode ini memiliki makna yang berbeda. Kata umpatan tersebut bahkan beralih fungsi menjadi kata sapaan dan keakraban. Keakraban antara Suro yang santun dan Boyo yang sangat kaku dan sering mengucapkan kata-kata jancuk. Secara operasional dan kontekstual dialog dalam film tersebut dilakukan oleh dua sahabat karib yang telah lama tidak bertemu dan belum mengetahui keadaan dan status sosial masing-masing di telpon. Dan kultur yang ada dalam dialog tersebut adalah kultur orang-orang Surabaya.
Dari segi kajian sosiolinguistik dipelajari tentang Kesantunan Bahasa. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”. Di daerah Jawa bagian barat misal, Madiun Ponorogo atau Magetan kata jancuk ini masih dianggap kata saru jika didengar oleh telinga. Anggapan oleh masyarakat di sana orang yang mengucapkan kata ini biasanya anak-anak nakal yang tidak pernah diajari anggah ungguh.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etika yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Jadi, jika kita mau menyapa teman karib dengan “cuk” itu bisa dikatakan santun, asal tidak membuatnya marah.
Pada kebanyakan masyarakat, khususnya daerah Mataraman dan Ponorogoan kata-kata jancuk dan variannya merupakan kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” dan “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
Hal inilah yang membedakan dengan masyarakat Surabaya yang memiliki sifat egaliter dan terus terang dalam berbicara sangat sedikit merasakan adanya sebuah tabu bahasa. Sehingga bahasa yang digunakan cenderung kasar jika dibandingkan dengan bahasa yang digunkan oleh masyarakat sekitar keraton, seperti masyarakat daerah yogyakarta, solo Mataraman, Ponorogoan dan sebagainya. Begitupun juga dengan kata Jancok. Kata itu memilik corak dimensi sosial dan budaya Surabaya yang egaliter dan keterbukaan.
Hal ini karena letak geografi Surabaya yang sangat jauh dari keraton. Dan merupakan daerah bekas markas VOC. Sehingga iklim yang ada di daerah tersebut cenderung kasar. Sebab yang terbentuk adalah masyarakat perdagangan dan pekerja kasar. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan terkesan berbeda dengan bahasa jawa yang ada di daerah lingkungan keraton yang masih sangat kental dengan nuansa kekeratonan yang feodal.
Bahasa Suroboyan ini memang cenderung apa adanya. Dalam mengucapkan kata-kata sehingga membentuk kalimat orang Surabaya terkesan efisien. Mereka tidak membutuhkan banyak kata untuk mendeskripsikan sesuatu hal atau keinginan mereka, tak heran pula kalau orang Surabaya sedikit gagap jika disuruh mendeskripsikan tentang suatu hal apalagi menggunakan berbahasa Indonesia.
Dialog orang Surabaya memang terdengar sangat kasar dan keras. Mungkin saya sebagai orang jawa (Ponorogoan), sangat risih mendengar kata - kata kasar seperti Jancuk misalnya. Namun dibalik semua itu kita bisa merasakan rasa keakraban dalam kata-kata yang diucapkan. Walaupun bahasanya kasar tetapi sebagian besar orang Surabaya atau lebih umumnya kaum Are’kan itu baik hati. Yang paling penting adalah jangan sampai mengucapkan kata-kata ini kepada orang yang belum akrab dengan kita dan yang lebih penting jangan sampai mengucapkannya dengan orangtua kita sendiri.








*Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah fakultas sastra Universitas Negeri Malang dan pemerhati pendidikan.






















PENUTUP
KESIMPULAN
Puisi angkatan Balai Pustaka pada umumnya bertemakan nasionalisme, cinta tanah air. Puisi-puisi angkatan ini bertujuan memberikan semangat pada seluruh pribumi untuk mencintai tanah airnya. Betapa tidak enak jika hak-hak kita selalu di ambi orang/ penjajah.
Pada masa ini merupakan masa bangkitnya pengarang-pengarang untuk mengungkapkan isi hatinya demi negara walau pada masa ini adalah masa yang sulit karena adanya kekangan dari penjajahan. Selain itu adanya batasan karya yang menghambat perkembangan sastra kususnya yang berbau nasionalisme demi memperoleh hak-hak yang semestinya.





















Daftar Pustaka

Alisjahbana, S Takdir. 1978. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: CV. Sinar Baru
Enre, Fachrudin Ambo. -------. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa
20-an. Jakarta: Gunung Agung
Harnoko, Dik. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Rosidi. Ajib. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Sarjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Waluyo, Herman.J. -------. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
1. Pendahuluan
1.2 Latar Belakang
Sumpah Pemuda tahun 1928 mungkin merupakan sejarah penting bagi tonggak perkembangan Bahasa Indonesia. Sebab sejak disumpahkan oleh beberapa wakil dari daerah yang ada di Hindia Belanda (sebelum Indonesia merdeka), Bahasa Indonesia sebagai bahasa perakat, bahasa nasional, dan simbol persatuan. Walau Bahasa Indonesia telah menjadi media integrasi politik waktu itu, namun kelompok-kelompok masyarakat yang ada didaerah tetap memiliki kebebasan untuk mempribumisasikan Bahasa Indonesia itu dalam konteks dan dialek lokalnya masing-masing. Waktu terus bergulir, dan sejarah membuktikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi nasional. Tatkala Bahasa Indonesia telah mewujud menjadi bahasa negara, bukan semata-mata milik warga, maka bahasa itu segera distrukturisasikan, dibakukan, dan disempurnakan. Melalui kebijakan pembakuan Bahasa Indonesia yang baik dan yang benar seperti yang tercermin dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) itulah, seluruh pengajaran dan pendidikan nasional harus merujuk atas EYD itu. Barang siapa yang tak mengikuti ketentuan EYD dalam pemakaian Bahasa Indonesia, khususnya saat diruang publik (nasional), maka yang bersangkutan dapat dikatakan tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar, dan bisa-bisa tidak nasionalis. Sebab hanya dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, setidaknya identitas kebahasaa kita menjadi jelas dan tentu orisinal sebagai produk budaya bangsa. Konsekuensi atas hal itu, EYD menjadi kekuatan normatif yang bersifat “represif” dalam tata Bahasa Indonesia. Jika hal itu dilihat sebagai ketentuan “normatif” semata, tanpa mau menengok aspek politik dan sosiologi munculnya kata atau kalimat yang ada dalam Bahasa Indonesia, bisa jadi kita menjadi korban hegemoni. Padahal setiap kalimat, bahkan kata dalam sebuah bahasa, syarat dengan representasi dan pertarungan politik dan sosiologis.
Pemakaian bahasa tidak semata-mata merupakan masalah kebahasaan. Kerena itu, pasal-pasal terdahulu telah dikemukakan bahwa penugasan atas unsur-unsur bahasa tidaklah cukup menjamin kesuksesan suatu komunikasi. Unsur yang berpengaruh yang terdapat pemakaian bahasa adalah unsur sosial dan unsur budaya pemakai bahasa.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah analisis aspek sosiologi dalam pemakaian bahasa?
b. Bagaimanakah analisis aspek budaya dalam pemakaian bahasa?
c. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi timbulnya variasi bahasa?
1.3 Tujuan
a. Menjelaskan analisis aspek sosiologi dalam pemakaian bahasa
b. Menjelaskan analisis aspek budaya dalam pemakaian bahasa
c. Memapaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya variasi bahasa
2. Bahasan
2.1 Analisis Aspek Sosiologi Dalam Pemakaian Bahasa
Hubungan antara bahasa dengan bahasa dengan masyarakat tidak pernah terbantah oleh para ahli tetapi hingga kini belum ada kesepakatan di antara mereka tentang bagaimana sifat hubungan itu. Telaah tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat telah menghasilkan disiplin ilmu baru. Disiplin ilmu baru itu ialah sosiolinguistik. Dalam disiplin ilmu yang baru ini dipelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. (Kridalaksana, 1982:56)
Variasi-variasi bahasa merupakan salah satu telaah sosiolinguistik dan melibatkan informan yang relatif banyak karena bahasa setiap orang berbeda-beda. Bahkan, bahasa setiap orang dapat berubah setiap saat dalam interaksinya dengan orang lain. Identitas seseorang, dalam hal ini siapa, dapat berupa jenis pekerjaan, status sosial, jenis kelamin dan sebagainya. Jenis bahasa dapat berupa dialek (geografis atau sosial) atau variasa-varaisinya. Interaksi itu dapat berupa secara santai atau formal.
Salah satu yang menonjol yang mengatur manusia dalam melakukan interaksi adalah masalah sopan santun. Masalah sopan santun dalam kaitan dengan penggunaan bahasa sangatlah rumit. Hal yang perlu ditonjolkan di sini yaitu ujaran eksplisit dan implisit. Biasanya ujaran eksplisit dinilai tingkat kesoponannya lebih rendah daripada ujartan implisit. Seorang pengunjung cafe yang menemukan lalat di dalam gelasnya yang berisi kopi akan memilih salah satu dari ujaran berikut: a) nona! Ganti kopi saya karena ada lalat didalamnya. Dan b) Nona! Ada lalat di kopi saya. Pengunjung yang berperilaku sopan akan memilih ujaran b) karena tuturan semacam itu dapat dinilai lebih sopan.
Sebenarnya fungsi ilokusi kedua ujaran itu sama, yaitu sebagai permintaan agar kopinya diganti. Ujaran a) merupakan tindak ilokusi langsung sedang b) ilokusi tak langsung. Hal yang merupakan eksplisit dalam ujaran a) ialah bentuknya perintah sedangkan b) berbentuk informatif. (Tarigan, 1987:49)
Anak-anak masih kecil belum banyak menghayati masalah sopan santun dalam berbicara. Karena itu ujarannya bersifat langsung. Makin bertambah umur mereka, makai bertambah penghayatan terhadfap kaidah-kaidah sosial yang mengatur perilaku seseorang. Hal ini memberi pengaruh kepada ujaran mereka. Bahasa yang mereka gunakan semakin memperlihatkan perilaku bahasa yang lebih sopan sehingga pemakaian ujaran tak langsung semakin komplek.
Bentuk ujaran lain yang dapat dinilai lebih sopan ialah bentuk pertanyaan yang mengandung berbagai tafsiran. Ada pertanyaan yang mengandung permintaan, ada juga yang mengandung perintah, ajakan, dan sebagainya. Hal itu juga tergantung pada situasi tempat dan saat pertanyaan itu diucapkan. Dalam pertanyaan Dapatkah pintu itu ditutup? Tersirat suatu permintaan bahkan terdapat bentuk perintah agar pintu itu ditutup. Hal ini berkaitan dengan konsep kesesueian dan kerelevansian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menganalisis wacana tidaklah dapat dilaksanakan dengan baik bila hanya dilihat dari segi ujarannya saja. Dengan kata lain, penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi tidak dapat dilepaskan dari aspek sosiologis yang menyertainya. Apa yang diucapkan banyak ditentukan oleh kaidah-kaidah bahasa sedangkan apa yang tersirat banyak ditentukan oleh faktor-faktor luar bahasa, antara lain faktor sosial.
2.2 Analisis Aspek Budaya Dalam Pemakaian Bahasa
Bahasa tidaklah bebas konteks. Bahasa digunakan dalam konteks budaya tertentu, baik dalam konteks yang abstrak maupun dalam konteks yang kongkrit. Disebut abstrak karena ia berada dalam lingkungan sistem nilai tertentu, setidak-tidaknya oleh sistem yang dianut oleh pemakai bahasa itu. Disebut kongkrit karena bahasa pada umumnya digunakan dalam lingkungan aktivitas manusia dan bahkan dalam lingkungan hasil karya manusia. (Koentjaraningrat, 1985:5)
Konteks budaya ini sering menyatu dengan konteks sosial. Pemakaian bahasa yang berbeda-beda karena pengaruh struktur masyarakat misalnya tidak lepas dari masalah sosiologis dan masalah budaya. Telaah tentang studi pada aspek budaya ini disebut etnolinguistik.
Bahasa merupakan cermin kebudayaan. Kata-kata atau ungkapan yang mewakili suatu konsep dari suatu bahasa tertentu sukar dicarikan padanannya yang identik dalam bahasa lain karena kata atau konsep itu menggambarkan perilaku masyarakat pemakainya. Kategori-kategori makna yang tersusun benyak ditentukan oleh faktor budaya. Ada makna tertentu yang tidak terdapat dalam masyarakat lainnya yang berbeda kebudayaannya.
Dalam cerita-cerita fiktif berupa werewolf yang sedikit pun tak mengenal unsur peradaban.Demikian pula individu tidak secara spontan mampu berbahasa secara biologis, tetapi harus menempuh proses enkulturasi dalam kehidupan di lingkungan keluarga batih yang merupakan Gemeinshaft dan menjalani proses sosialisasi dalam paguyuban ‘Gesselschaft’ menurut kajian sosiolog F. Tonnies (Iskar, 2008) dari sudut telaah sosiolinguistik, ada keterkaitan yang erat antara masyarakat dan bahasa. Oleh karena itu, bagi bidang studi ini diakui eksistensi masyarakat bahasa ’speech community’ yang sifatnya heterogen beserta masyarakat umumnya.
Masyarakat yang dimaksudkan meliputi monolingualisme, bilingualisme, dan multilingualisme.Sementara itu sosiolinguistik berpandangan ada empat fokus yang sangat vital dan urgen berkaitan dengan masalah bahasa yaitu (1) komunikator, (2) komunikan yakni siapa saja yang berpartisipasi dalam komunikasi atau orang yang diajak berbicara, (3) situasi, dan (4) ragam atau variasi bahasa. Katakanlah keempat komponen ini menentukan suksesnya komunikasi berinteraksi menggunakan bahasa sebagai sarananya. . (Iskar, 2008)
Kontak budaya dalam kehidupan modern seperti yang kita alami sekarang ini telah membawa perubahan pada bahasa-bahasa yang hidup yaitu bahasa Indonesia beserta bahasa-bahasa daerah ‘vernacular languages’ di tanah air kita ini. Penulis ini pun sadar bahwa di sini kelihatan adanya keragaman budaya yang menjadi pendukung pelbagai kultur daerah sehingga perlu diintegrasikan pada kesatuan nasion Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menafikan separatisme, mengikat erat-erat persatuan nasionalisme yang telah diikrarkan tahun 2008.
Keberhasilan nasion Indonesia bersatu padu oleh faktor bahasa nasionalnya merupakan anugerah Tuhan berkat anutan Pancasila terutama sila ketuhanan yang Maha Esa. Satu nasion, satu bahasa, satu tanah air, itulah Indonesia mutiara di khatulistiwa.Dari telaah komunikasi tampak adanya (1) komunikasi verbal yang terlihat pada proses encoding — transmisi informasi — decoding – feedback. Peristiwa ini ditemukan pada konsep bahasa language’. Sebab pada paralanguage berlaku (2) komunikasi non verbal yang bernama kinesics menurut linguis Ray L. Birdwhistell. Proses encoding aktivitas awal komunikator merumuskan isi informasinya ke dalam satu ragam bahasa lalu penyebaran pesan/ amanat/ informasi kepada komunikan untuk ditafsirkan sehingga isi informasi dimengerti. Akhirnya oleh komunikan direspons berupa jawaban yaitu umpan balik. . (Iskar, 2008)
Sementara itu pada komunikasi non verbal yang terdapat pada paralanguage telah ada kesepahaman pengertian antara komunikator dan komunikan mengenai isi informasinya sehingga jawabannya mengikuti kebiasaan saja. Komunikasi demikian muncul ketika seorang asing menyapa kenalannya dengan ucapannya How are you? Jawabannya, Fine. (Kabar baik) akan tetapi, dari hasil penelitiannya di polinesia, antropolog J.R. Firth. (dalam Iskar, 2008) menyebutkan bukan berita yang ditafsirkan orang sana melainkan kesehatan. Situasi ini mengingatkan penulis pada budaya orang Sunda saat berjumpa sapaannya, Kumaha da(r)amang (Bagaimana sehat-sehat?) Alhamdulillah da(r)amang (sehat-sehat). Jelaslah faktor budaya mendominasi komunikasi.Baik language maupun paralanguage menjalin hubungan yang erat, keduanya pun merupakan unsur dasar dari kebudayaan basic cultural traits.
Kontak budaya menyebabkan adanya difusi atau penyebaran dari luar ke dalam. Terjadilah (1) difusi ekstern yaitu penyerapan kosakata asing oleh bahasa Indonesia yang mengubah bahasa ini ke arah modern. Dampaknya kelihatan kreativitas orang-orang Indonesia memadukan pelbagai unsur bahasa asing yang menjelma bentuk kata-kata baru sebagai inovasi: gerilyawan, ilmuwan, sejarawan; Pancasilais, agamis dll yang disebut kata hibrid(a) (2) Difusi intern timbul hubungan timbal balik mengenai penyerapan kosakata antara bahasa Indonesia seperti masuknya kata lugas, busana, pangan dll dari bahasa Jawa atau kata-kata nyeri, pakan, tahap, langka dari bahasa Sunda.
Sebaliknya kata perhatian diserap perhatosan, kecuali perkebunan, pengairan sebagai kata Sunda.Akan tetapi, ekses dari difusi intern dampak negatif disebabkan oleh dominasi berlebihan dari bahasa daerah yang melahirkan interferensi yang secara gramatikal merugikan bahasa Indonesia. Penutur etnik Sunda sebagai bilingual/ dwibahawan secara sadar/tidak menggunakan unsur kesundaan, sekolahan, jalanan ketika bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Padahal cukup dengan sekolah, jalan bagi kosakata Indonesia. . (Iskar, 2008)
Demikian pula pemakaian awalan di-Sunda berbeda dengan awalan di-Indonesia. Kata kerja pasif berawalan di-Indonesia terbatas hanya boleh diikuti orang ketiga tunggal yaitu ia/dia misal diperiksa oleh polisi, oleh ia/dia. Ini bertentangan dengan awalan di-Sunda, dititah ku kuring/ disuruh oleh saya; bentuk kalimatnya tak ada dalam bahasa Indonesia. Fenomena tumpang tindih ‘overlaping’ semacam ini luput dari kesadaran atau perhatian dwibahasawan etnik Sunda.
Untuk lebih memperhatikan adanya pertalian aspek-aspek budaya dalam komunikasi verbal, marilah selayang pandang menyimak buah pikiran Wilhelm von Humboldt tentang relativitas bahasa yang kelak membentuk kerangka pikiran bagi Edward Sapir dan Benyamin Lee Whorf. Menurut von Humboldt. (dalam Iskar, 2008), bahasa itu adalah aktivitas rokhani, proses kejiwaan yang berulang-ulang untuk membentuk ide/gagasan dengan mengeluarkan bunyi artikulasi. Setiap bahasa mencerminkan lambang jiwa, tabiat, sifat suatu bangsa itu. Hal ini menimbulkan keragaman bahasa dan perbedaannya. Teorinya ini mengandung konsep dasar, bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin ada dalam bahasa yang diwarisinya bersama-sama dengan kebudayaannya.
Fungsi bahasa yang utama adalah alat untuk berpikir dan berlaku pada setiap bangsa. Melalui interdisipliner antropolinguistik, ditegaskan bahwa sistem nilai budaya Indonesia mempunyai pengaruh yang besar atas penggunaan kata ganti orang atau pronominanya. Sesuai dengan teori komunikasi, komunikator dan komunikan komitmen dalam hubungan simetris atau hubungan asimetris. Terjadinya hubungan simetris karena ada kesamaan status sosial, perbedaan mengakibatkan kehadiran asimetris.Pronomina ketiga tunggal ia/dia berlaku dalam hubungan simetris, namun kata beliau yang fungsinya sama dengan ia/dia hanya dipakai untuk asimetris sehubungan nilai budaya hormat. Kata beliau diperuntukkan terhadap dia yang status sosialnya tinggi: Baru-baru ini Presiden SBY mengunjungi kedua SD Negeri. (1) Ia sempat mengajar anak-anak. (2) Beliau sempat mengajar anak-anak. Kalimat (1) diucapkan oleh orang yang baru belajar.Walaupun pronomina I saya, aku bersinonim, dalam praktik aplikasinya berbeda. Sebab timbul hubungan simetris/asimetris terhadap pronomina saya, “Permisi, Pak, saya akan membezuk anak sedang sakit,” kata pegawai kepada atasannya. “Aku tak sanggup menyelesaikan soal akhir, Bu” ujar siswa kelas 3 SMA kepada gurunya, tidak tahu adat, menganggap dirinya setaraf.Pronomina kami mempunyai arti (a) komunikator jamak seperti “Ayah, ibu, adik tergabung menjadi Kami bertiga akan berpiknik; (b)sama dengan makna saya ialah honorifiks mayestatis. Biasanya komunikator bertindak sebagai ketua/ wakil ketua/ pemimpin/ kepala misal “Kami (=saya) mengucapkan selamat atas kehadiran bapak/ibu,” kata direktur SMA. Tetangga berujar, “Kami tidak mengizinkan ibumu lewat sini.” Salah penggunaannya pada pronomina kita terlibat komunikator beserta komunikan hubungannya simetris, marilah kita bersikap dewasa,” kata ayahnya membujuk anaknya. Khusus untuk pronomina jamak kami tidak melibatkan komunikan hanya jumlah komunikator banyak.Uraian beserta pembahasan tentang pronomina tersebut mencerminkan sistem nilai budaya Indonesia yang melatarbelakangi komunikasi bahasa Indonesia. . (Iskar, 2008)
2.3 Faktor-faktor Penentu Timbulnya Variasi Bahasa
Variasi bahasa muncul karena berbagai faktor yaitu, norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat mempengaruhi bentuk komunikasi dan akhirnya berpengaruh pula terhadap bentuk bahasa. Ada norma yang mengatur kuantitas ujaran yang dihasilkan oleh individu-individu, ada norma yang mengatur giliran bicara, ada pula yang mengatur isi pembicaraan.
Dari sisi giliran bicara, selain norma bergiliran, Karl Reisman (dalam Tarigan, 1987) menunjukkan bahwa masyarakat di Antigua membolehkan seorang individu berbicara tatkala orang lain masih berbicara, bahkan dengan topik yang berbeda sekalipun. Elinor Keenan menunjukkan norma yang mengatur isi pembicaraan di Madagaskar, bahwa karena pertimbangan keselamatan dan ingin menyimpan rahasia tertentu seseorang bisa berbicara dengan bahasa yang tidak mengandung informasi.
Menurut Breen dan Cadlin, Morrow, dan Widodwwson (dalam Tarigan, 1987), hakikat komunikasi berlangsung dan dipengaruhi oleh konteks wacana dan sosiokultural pemakainya. Aspek konteks dan sosiokultural inilah yang memberikan kendali pada pemakaian bahasa yang tepat serta menjadi petunjuk bagi interpretasi ucapan dengan benar.
Ketika menjelaskan kendala budaya dalam pengajaran bahasa, dapat ditunjukkan bahwa tiap bangsa dengan latar belakang sosio-kurtural yang berbeda mempunyai norma berbahasa yang berbeda pula. Orang yang berbeda bahasa dan latar belakang, ketika berkomunikasi satu sama lain, akan mengalami kendala komunikasi yang terkait dengan budaya asal itu. Betapa kuatnya pengaruh budaya dalam kegiatan berkomunikasi antar pemakai bahasa yang berbeda dapat menimbulkan peristiwa yang lucu, menggelikan, bahkan menimbulkan kesalahpahaman, goncangan psikis, dan stres.
Dari sisi kebutuhan penutur dalam kontak sosial bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa berwujud varian-varian bahasa yang pemakaiannya diselaraskan dengan kebutuhan penutur dalam kontak sosialnya. Kepada siapa ia berbabahasa, bahasa apa yang digunakan, kapan dan dimana bahasa itu dipakai, merupakan gambaran tentang pemakaian bahasa dalam kontak sosial penutur yang masing-masing memerlukan pemilihan varian bahasa tertentu dalam pengungkapannya. Karena pertimbangan-pertimbangan di ataslah maka jenis suatu bahasa dan ragam suatu bahasa tertentu menjadi bervariasi.
3. Simpulan
a. Menganalisis wacana tidaklah dapat dilaksanakan dengan baik bila hanya dilihat dari segi ujarannya saja. Dengan kata lain, penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi tidak dapat dilepaskan dari aspek sosiologis yang menyertainya. Apa yang diucapkan banyak ditentukan oleh kaidah-kaidah bahasa sedangkan apa yang tersirat banyak ditentukan oleh faktor-faktor luar bahasa, antara lain faktor sosial.
b. Sistem nilai budaya Indonesia mempunyai pengaruh yang besar atas penggunaan kata.Fungsi Bahasa bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, inventaris ciri-ciri kebudayaan dan alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
c. Ada beberapa faktor yang menimbulkan variasi dalam penggunaan bahasa. Faktor-faktor tersebut adalah norma sosial, konteks wacana, sosiokultural pemakainya, dan faktor-faktor penentu dalam berkomunikasi seperti kepada siapa berbabahasa, kapan dan dimana bahasa itu dipakai, dengan media dan saluran apa .
Daftar Rujukan
Koentjaraningrat. 1985. Persepsi masyarakat tentang kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1982Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Iskar, Soehendra. 2008. Aspek-Aspek budaya dalam Komunikasi Bahasa, (Online). (Weblog.mht!http://sastradaerahunhas.wordpress.com, diakses 9 mei 2009)
Tallei, Mpd. 1988 Analisis Wacana (Suatu Pengantar). Manado. CV. Bina Patra Manado.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Gambaran tentang kebudayaan suatu masyarakat tidak hanya dapat diperoleh melalui tulisan-tulisan ilmiah saja. Demikian juga, gambaran itu tidak harus diperoleh dengan terjun masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Gambaran itu dapat diperoleh dengan cara menggali karya-karya fiksi atau non-ilmiah seperti buku-buku sastra atau novel-novel. Bahkan, dari tulisan-tulisan fiksi itu, banyak sekali terungkap pandangan-pandangan dari suatu kebudayaan tertentu yang hidup dalam suatu masyarakat pada masa-masa tertentu. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa karya-karya fiksi adalah suatu produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, filosofis, dan sebagainya, yang bertolak dari pengungkapan kembali suatu fenomena. (Sardjono, 1992: 10).
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah novel sejarah. Bumi Manusia melingkupi masa kejadian tahun 1898 sampai 1918, masa periode Kebangkitan Nasional, masa yang hampir tak pernah dijamah oleh sastra Indonesia, masa awal masuknya pengaruh pemikiran rasio, awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga berarti awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.
1.2 Rumusan Masalah
a. Siapa sajakah manusia-manusia jawa dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer?
b. Bagaimanakah gambaran manusia jawa dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer?
1.3 Tujuan
a. mendeskripsikan manusia-manusia jawa dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
b. Menjelaskan gambaran manusia jawa dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
2. Bahasan
2.1 Manusia-Manusia Jawa Dalam Bumi Manusia
Minke
Minke adalah tokoh utama dalam novel ini. Minke adalah seorang pelajar Indonesia pada sekolah menengah Belanda (H.B.S.) di Surabaya. Pengalaman intelektual di lingkungan asing ini, membebaskan dirinya dari belenggu latar belakang Jawa keturunan bangsawan. Minke adalah keturunan satria Jawa, masih memiliki darah raja-raja Jawa; ayahandanya adalah seorang bupati (Ananta Toer, 2001: 134).
Sejak awal, Minke sudah harus berurusan dengan pengadilan putih (Pengadilan di mana para pejabatnya adalah orang-orang Eropa dan di dalamnya berlaku hukum Eropa. Tentu saja orang Eropa memiliki derajat dan hak serta prioritas yang lebih tinggi dibandingkan orang pribumi), yaitu dalam kasus Nyai Ontosoroh dan Annelies (Nyai Ontosoroh adalah seorang gundik Belanda, dan Annelies adalah anak Nyai Ontosoroh dari Herman Mellema, seorang Belanda totok. Annelies kemudian menjadi istri Minke. Annelies akhirnya meninggal di Nederland setelah diambil paksa oleh keturunan sah ayahnya setelah Herman Mellema tewas). Dalam kasus ini, Minke telah mengerahkan segala upaya, baik lewat pengadilan maupun tulisan-tulisannya. Meskipun mendapat simpati dari masyarakat, segala upaya Minke dan kawan-kawannya gagal. Mereka kalah di hadapan pengadilan putih.
Dalam perjalanan hidupnya, dia berjuang lewat organisasi modern yang didirikannya. Pembentukan organisasi ini sangat penting karena satu organisasi modern di Hindia sama harganya dengan satu orang Eropa di hadapan hukum. Pertama kali, Minke mendirikan Serikat Priyayi yang beranggotakan para priyayi, yang pasti termasuk golongan terpelajar. Organisasi ini kurang berhasil karena rupanya tidak memiliki kepedulian sama sekali tentang keadaan bangsa Hindia. Kemudian Minke mendirikan Serikat Dagang Islam. Serikat ini bisa berjalan dan berkembang dengan baik karena beranggotakan kelompok mayoritas dari masyarakat pribumi, yaitu para pedagang dan kaum Islam. Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial berusaha menggoncang dan memecah belah SDI.
Minke kemudian dibuang ke Ambon oleh pemerintah kolonial dengan tuduhan yang tidak benar. Setelah bebas dari pembuangan, Minke menemukan bahwa segala miliknya tidak ada lagi. Dan akhirnya, ia meninggal karena sakit, tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali seorang pengikutnya yang masih setia.
Nyai Ontosoroh
Nyai adalah perempuan yang hidup sebagai selir/wanita simpanan lelaki nonpribumi/ Eropa. Pada masa itu, seorang Nyai dipandang sebagai manusia yang bermartabat dan bermoral rendah, yang hanya mempunyai kewajiban memuaskan nafsu tuannya tanpa pernah diakui pernikahannya secara sah (Ananta Toer, 2001: 50).
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang sosok yang sangat berbeda dengan sosok seorang nyai pada umumnya. Nyai Ontosoroh ditampilkan sebagai pribadi yang kuat, tidak menyerah pada nasib. Ini terungkap melalui tekadnya, “Akan kubuktikan pada mereka, apa pun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai” (Ananta Toer, 2001: 91) . Ia adalah seorang perempuan pribumi yang kuat, terpelajar, walaupun secara otodidak, dan berjiwa modern. Kemauannya dan usahanya untuk belajar dan tekadnya untuk mandiri menjadikannya sosok yang begitu mempesona bagi ukuran wanita pribumi pada masa itu.
Ibunda Minke
Ibunda Minke adalah gambaran sosok wanita Jawa priyayi. Dia masih menjunjung tinggi adat, tradisi, dan kebudayaan Jawa. Dia tetap berusaha memelihara nilai-nilai Jawa dalam menghadapi nilai-nilai yang ditawarkan oleh para penguasa kolonial. Dia tak hentihentinya menasihati Minke supaya ingat jati dirinya sebagai seorang Jawa, tetapi ia juga memberi kebebasan sepenuh-penuhnya pada Minke untuk memilih dan menentukan arah hidupnya sendiri, walaupun ia sebenarnya menginginkan Minke menjadi seorang bupati (Ananta Toer, 2001: 137-138, 142).
Ayahanda Minke
Ayahanda Minke adalah seorang laki-laki Jawa dari kalangan priyayi. Ia masih keturunan raja-raja Jawa. Semula, ia adalah seorang mantri pengairan, kemudian, ia diangkat menjadi bupati Bojonegoro. Selanjutnya ia dipindah ke Blora. Sebagai seorang Jawa tulen, dan lebih-lebih lagi sebagai seorang bupati yang hidup pada masa itu, tentu saja ayahanda Minke ini tidak lepas dari sikap feodalistik. Sebagai seorang bupati, seperti halnya dengan bupati-bupati lain pada masa itu, ia juga memimpikan karunia gelar Pangeran, suatu gelar yang sangat jarang dimiliki oleh bupati di seluruh Jawa.
Ia sulit untuk mengerti dan memahami pikiran dan tingkah laku, angan-angan dan sepak terjang Minke, bahkan ia menentang segala kegiatan Minke yang berkaitan dengan perjuangan Minke menghadapi pemerintah kolonial melalui tulisan maupun organisasi. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk berpihak pada Minke.
Gadis Jepara, Siti Soendari, dan Surati
Ketiga gadis ini memiliki satu kesamaan, yaitu tidak mau menyerah begitu saja pada nasib. Dengan caranya masing-masing, ketiga gadis itu berusaha memperjuangkan citacitanya, walaupun kesudahan yang dialami ketiganya sangat berbeda.
Gadis Jepara adalah seorang putri bupati Jepara. Ia hidup dalam lingkungan di mana sistem feodalisme berlaku dengan ketat. Ia hanya mengalami kebebasannya pada masa kecil sampai menanti masa pingitan, di mana hidupnya kemudian hanya berkisar di dalam rumah. Meskipun dalam situasi demikian, ia tekun sekali belajar. Ia memiliki pemikiran yang bagus untuk perempuan bangsanya, dan ia menuangkannya lewat tulisan-tulisan dan surat-suratnya yang membuat kagum banyak orang, termasuk Minke. Oleh karena pemikirannya yang cukup tajam, pemerintah kolonial Hindia-Belanda berusaha membungkamnya dengan mendesak ayahnya supaya segera menikahkannya. Akhirnya dia menikah dengan bupati Rembang. Ia mati pada usia yang masih sangat muda.
Siti Soendari adalah seorang gadis dari Pemalang, putri dari seorang teman Minke pada saat masih bersekolah. Soendari tidak dididik dalam suasana dan lingkungan feodalistik.. Ia adalah seorang nasionalis muda yang membenci kolonialisme. Ia berjuang bersama para nasionalis muda lainnya melalui tulisan-tulisannya dalam koran maupun melalui orasi-orasinya di depan publik. Pemerintah merasa bahwa gadis jelita itu punya keyakinan dan pendapat yang berlainan dari keinginan Gubermen.
Surati adalah putri Paiman, kakak Nyai Ontosoroh. Karena ambisi ayahnya, ia terpaksa harus menjadi gundik Tuan Besar Plikemboh. Namun, Surati tetap tidak ingin selama-lamanya menjadi nyai. Surati mempunyai tekad untuk ‘menyelesaikan sendiri kesudahannya’. Akhirnya Surati menempuh jalan menulari dirinya sendiri dengan wabah cacar. Dia datang kepada Plikemboh dengan harapan mati segera. Akhirnya, Plikemboh yang mati tertulari cacar dari Surati, sedangkan Surati sendiri terselamatkan.
Sastrotomo dan Paiman
Dua tokoh ini mewakili manusia Jawa yang ambisius. Sastrotomo tidak puas dengan jabatannya sebagai jurutulis. Ia impikan jabatan yang lebih tinggi kendati jabatannya sudah cukup tinngi dan terhormat. Ia memimpikan jabatan sebagai jurubayar, kasir pemegang kas pabrik gula Tulangan, Sidoarjo. Demi jabatan itu, berbagai jalan ditempuhnya. Sanikem bercerita tentang sikap ayahnya itu, “Tindakannya yang menjilat dan merugikan temantemannya menjadikannya tersisih dari pergaulan. Ia terpencil di tengah lingkungannya sendiri. Tapi ia tidak peduli” (Ananta Toer, 2001: 82). Pada akhirnya, ia tega menjual anaknya sendiri, Sanikem, kepada administratur pabrik gula, Tuan Herman Mellema, demi jabatan jurubayar yang diimpikannya.
Tidak jauh beda dengan Paiman. Ia menyerahkan Surati, anaknya kepada Tuan Besar Vlekkenbaaij (oleh masyarakat diplesetkan menjadi Plikemboh), administratur pabrik gula saat itu, sebagai ganti jabatan. Walaupun dikisahkan bahwa Paiman dijebak oleh Tuan Besar Plikemboh sehingga ia harus memilih antara membayar kembali uang yang hilang atau menyerahkan Surati, toh Paiman tetap saja menyimpan ambisi besar untuk mempertahankan jabatannya sebagai jurubayar, suatu jabatan yang sangat bergengsi dan dihormati banyak orang.
Golongan Petani
Penjajahan selama tiga ratus tahun membuat kaum petani pada umumnya menjadi terpuruk dan tidak berdaya. Kekalahan terus-menerus yang mereka alami selama itu membuat mereka begitu takut dan tunduk pada penguasa kolonial. Penindasan yang mereka alami bukan hanya dari pemerintah kolonial, tetapi juga dari penguasa pribumi.
Situasi terpuruk ini membuat sebagian besar dari mereka kehilangan harapan dan kepercayaan akan diri sendiri. Mereka lebih suka bermimpi bahwa pada suatu hari nanti penguasa akan bermurah hati kepada mereka dan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan ini.
Golongan Terpelajar
Kaum terpelajar adalah mereka yang mendapat pengetahuan Eropa melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Mereka dididik untuk mengabdi kepada Gubermen. Akibatnya, sangat sedikit orang terpelajar yang mengenal bangsa dan kebutuhan bangsanya. Kebanyakan mereka hanya mengenal kebutuhan nafsu mereka sendiri. Mereka kurang peduli bahwa maju-mundurnya bangsa ini sangat ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan.
Sikap jelek kaum terpelajar ini lebih nampak ketika Minke mendirikan Serikat Priyayi. Minke berpikir bahwa kaum terpelajarlah yang dapat memelopori suatu organisasi modern. Namun ternyata, mereka hanya sekedar memikirkan perut mereka sendiri. Mereka sudah terlanjur merasa mapan dengan kondisi mereka sehingga enggan untuk turut campur dalam urusan-urusan yang bisa membahayakan status mereka, meskipun itu demi bangsa mereka sendiri.
2.2 Gambaran Manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer
Manusia Jawa dan Sikap Feodalistik
Sikap feodalistik sangat meresapi berbagai segi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pramoedya juga menampilkan sikap feodalistik manusia Jawa ini dalam novelnya. Apa itu feodalisme? Feodalisme adalah suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan. (Hardjowirogo, 1984: 11).
Pramoedya (2001: 133) melukiskan salah satu contoh feodalisme itu dalam buku pertamanya. Di dalamnya, dilukiskan tentang bagaimana seorang bupati memerintah kota kabupatennya sebagai seorang raja kecil, yang oleh rakyat biasa disebut Gusti Kanjeng. Untuk menghadap seorang bupati di kediamannya, seorang rakyat harus mencopot alas kakinya dan jalan berlutut.
Sikap feodalistik ini dilukiskan lebih tegas lagi ketika Ibunda Minke memberikan wejangan kepada Minke, “Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa lebih berkuasa ... Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang Jawa harus berani mengalah” (Ananta Toer, 2001: 141) .
Sikap feodalistik ditunjukkan pula dalam penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Jawa. Seorang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya menggunakan bahasa ngoko kepada orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Begitu juga sebaliknya, orang yang lebih muda atau rendah kedudukannya menggunakan krama inggil kepada yang lebih tua atau tinggi kedudukannya.
Manusia Jawa dan “Aja Dumeh”
Dumeh adalah suatu keadaan kejiwaan yang mendorong seseorang untuk bersikap serta berbuat tertentu selagi atau mumpung dia sedang berkuasa. Manusia Jawa dididik supaya jangan mengecewakan atau menyakiti hati orang lain karena pergantian ke arah yang baik. Untuk menjaga diri supaya tidak keweleh, tersanggah oleh perubahan keadaan, manusia Jawa harus melindungi diri terhadap akibat sikap dumeh.
Maka, dalam masyarakat Jawa timbullah ungkapan ‘aja dumeh’, yang bisa diartikan ‘jangan mentang-mentang’, jangan berpikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena ia lebih unggul. Ungkapan ini dimaksudkan sebagai nasihat agar seseorang dalam bergaul dengan orang lain tidak melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati.
Falsafah hidup manusia Jawa ini ditampilkan juga oleh Pramoedya dalam karyanya. Melalui nasihat-nasihat ibunda kepada Minke, Pramoedya (2001: 141) bertutur, “Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda. Maka kau sekarang tak suka bergaul dengan sebangsamu, bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka padaku.” Lebih lanjut ia bertutur, “Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Haya jangan sakiti orangtuamu, dan orang-orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu” (Ananta Toer, 2001: 142).
Pandangan tentang Lelaki Jawa
Lelaki Jawa dari kalangan mana pun, tampaknya hampir semuanya menunjukkan cirri-ciri yang mirip dalam beberapa hal tertentu. Salah satunya seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu sikap feodalistiknya. Hal lain misalnya mengenai pandangan mereka tentang eksistensi seorang istri. Yang cukup kelihatan adalah ‘dominasi’ pria terhadap istrinya.
Pramoedya menggambarkan hal ini melalui tokoh Sastrotomo, ayah Sanikem/Nyai Ontosoroh. Melalui ungkapan Sanikem, Pramoedya (2001: 84) bertutur, “Ibuku tak punya hak bicara, seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan.”. Pramoedya (2001: 224) juga menunjukkan sikap lelaki Jawa terhadap wanita, “... pria Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus.”
Suatu gambaran tentang perilaku seksual lelaki Jawa berkedudukan juga ditampilkan oleh Pramoedya. Digambarkan bahwa adalah suatu hal yang lazim bagi lelaki Jawa yang memiliki kedudukan terhormat untuk beristri lebih dari satu. Pramoedya (2001: 83) bertutur melalui Sanikem, “Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain.”
Melalui wejangan Ibunda kepada Minke menjelang pernikahan Minke dengan Annelies, Pramoedya (2001: 350-351) menuturkan syarat-syarat yang harus ada pada satria Jawa, yaitu wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga. Wisma (rumah) adalah tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan; tanpa wanita, satria menyalahi kodratnya sebagai lelaki. Tanpa turangga (kuda), tak jauh langkah seorang satria, dan pendek penglihatannya. Kukila (burung) lambang keindahan, kelangenan (hobby), segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan pribadi. Dan curiga (keris) lambang kewaspadaan, kesiapsiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya.
Pandangan tentang Perempuan Jawa
Menarik bahwa Pramoedya menampilkan lebih dari satu tokoh perempuan dalam karyanya. Tak kalah menarik bahwa perempuan ditempatkan pada kedudukan yang tidak setara dengan kaum lelaki, namun juga diberikan sifat-sifat atau ciri yang terhormat kepada mereka dengan sederet kebaikan, antara lain kesetiaan, kepatuhan, kesabaran.
Perempuan Jawa, khususnya kalangan priyayi, selalu berusaha menempatkan kebahagiaan pada kehidupan perkawinannya. Istri golongan priyayi selalu berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan suaminya dengan pelbagai macam cara. Dan landasannya bukan hanya demi kepatuhan, kesetiaan dan pengabdian saja, melainkan juga demi mengikat agar suaminya tetap mencintainya.
Pramoedya juga menampilkan sebuah gambaran tentang perempuan Jawa yang ideal, utama, patut dicontoh, yaitu perempuan yang pandai bersolek dan bersopansantun, luwes dalam pergaulan, setiap saat sedia membantu dan menolong orang, tak undur terhadap kerja kasar atau halus, trampil di depan umum dan di rumah.
SIMPULAN
a. Minke adalah tokoh utama dalam novel ini. Ia memiliki kepedulian terhadap keadaan bangsa. Selain Minke, ada juga nyai ontosoroh, ibunda Minke, ayah Minke, gadis jepara, Siti Soendari, surati, Sastrotomo Paiman, golongan petani, dan golongan terpelajar. Mereka semua adalah tokoh yang mercerminkan watak orang Jawa.
b. Manusia Jawa dalam masyarakat tidak bisa lepas dari sikap feodalistiknya. Hal ini telah berlangsung turun temurun sejak dahulu dan masih berlangsung hingga kini. Sikap manusia Jawa yang juga cukup menonjol adalah sikap nrima-nya. Falsafah nrima ing pandum cukup mengakar dalam diri manusia Jawa, khususnya wanita Jawa. Falsafah ini, mau tidak mau, mendorong pada sikap fatalistik, yaitu pasrah terhadap nasib. Namun, tidak semua manusia Jawa bersikap demikian. Banyak juga yang berpandangan bahwa nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri.Nasehat yang baik yang dimiliki orang Jawa adalah ‘aja dumeh’. Suatu nasehat yang sungguh relevan untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat demi terciptanya suatu keadaan yang damai. Selanjutnya, manusia Jawa tidak bisa dipisahkan dari wayang. Wayang menjadi suatu pemberi makna hidup bagi manusia Jawa.Mengenai kedudukan lelaki dan perempuan, dalam masyarakat Jawa masih terdapat pembedaan. Wanita lebih dianggap sebagai subordinate yang hanya pantas dipandang sebelah mata saja. Meskipun demikian, keberadaannya dibutuhkan sebagai pelengkap “ketidaksempurnaan” kaum lelaki.
DAFTAR RUJUKAN
Ananta Toer, Pramoedya.. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.



ANALISIS “WONG JOWO” DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER



Di Balik Iklan Caleg Pinggir Jalan
Hanif hubbuddin (107211407091)*
Musim kampanye pemilu 2009 sudah dimulai sejak pertengahan 2008 lalu. Menghadapi pemilu, masing-masing parpol lewat para caleg bakal bertarung untuk memperebutkan kursi. Mereka mulai gencar melakukan sosialisasi dan mengkampanyekan dirinya dengan memasang spanduk dan baliho di berbagai ruas jalan dan tempat-tempat strategis. Saat ini para caleg berlomba-lomba menjadi ’narsis’ dengan memajang wajahnya di berbagai tempat. Bahkan beberapa di antaranya memasang atribut kampanye dalam ukuran besar. Termasuk di tempat baliho-baliho komersial biasa terpasang dan yang membuat konstruksi sendiri.
Jalan-jalan besar telah disesaki oleh poster dan iklan-iklan calon anggota legislatif. Masyarakat biasa pengguna jalan raya, yang bukan anggota caleg, sepertinya sudah pasrah dengan sikap para caleg yang demikian ‘bebas dan berkuasa’ di jalan raya. Banyak gerutu, gelengan kepala sampai rasa sesal karena jejalan baliho tersebut merusak pemandangan. Bahkan ada yang menyebutkan iklan-iklan tersebut, baik bentuk maupun pesannya, sangat monoton dan lebih terlihat sebagai ’sampah’ visual ketimbang pesan visual yang mampu menarik simpati.
Kalau kita bayangkan, andaikata semua caleg mulai dari tingkat daerah hingga pusat ditambah cabup-cawabup, cagub-cawagub, capres-cawapres, punya "dompet" tebal sehingga bisa bikin baliho sebanyak-banyaknya bisa-bisa semua kota di negeri ini penuh taman baliho, atau malah hutan baliho.
Khusus tentang baliho, dengan dukungan teknologi printing yang canggih, sekarang ini baliho bisa dibuat ukuran besar, dan orang yang digambarnya tampak gagah dan cantik. Bisa lebih indah dari warna aslinya. Andaikata rakyat harus memilih hanya berdasarkan kegagahan atau kecantikan, bisa jadi mereka bingung mau pilih yang mana. Semuanya tampak gagah dan cantik. Tentu saja, untuk mendapatkan satu foto yang akan digunakan dalam baliho, dibutuhkan sekian kali jepretan fotografer profesional yang dibayar mahal, untuk kemudian dipilih satu yang paling pas.
Belum lagi kalimat-kalimat yang digunakan dalam setiap baliho aneka macam, mulai dari yang menggelikan sampai yang membingungkan karena tidak diketahui apa maksudnya. Yang penting ada semacam slogan.
Memang, kita di Indonesia untuk urusan slogan ini, nomor satu. Jika ada pertandingan membuat slogan, pada baliho atau spanduk, mungkin kita jadi juara satu. Keahlian itulah yang muncul dalam baliho, spanduk, iklan dari para politisi yang sedangb beriklan untuk dirinya.
Memang ada juga yang menggunakan kalimat-kalimat bermakna dan berbobot, seperti petuah-petuah. Bahkan ada yang menggunakan kalimat bijak para sufi.Hanya saja kita lalu jadi bertanya, apa iya seorang politisi yang sedang beriklan dan bertarung untuk memperebutkan kekuasaan, pas dengan kalimat sufistik yang mengajak orang mengendalikan hawa nafsu? Atau di satu pihak berbicara tentang istiqamah lalu pada saat yang sama memelihara adagium bahwa dalam politik tidak ada kawan/musuh abadi, tapi yang ada hanya kepentingan abadi?
Kendati demikian, tentu saja kalimat-kalimat dalam baliho itu dianggap yang paling pas dan paling hebat oleh yang empunya. Artinya, itulah kalimat atau slogan yang akan memikat para konstituen untuk memilih mereka.
Selain itu, pemasangan alat peraga kampanye banyak yang tidak mematuhi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Aturan pemasangan alat peraga seperti poster dan baliho tertuang dalam pasal 13 ayat 5 yang terdiri dari poin a sampai h. Misalnya dalam poin d disebutkan; pemasangan alat peraga oleh pelaksana kampanye, harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan daerah setempat. Dalam poin e juga disebutkan; pemasangan alat peraga pemilu harus berjarak dari alat peraga peserta pemilu lainnya.
Mengingat banyak pemasangan alat peraga yang tidak sesuai aturan, maka sudah saatnya aparat berwenang bertindak untuk menertibkannya. Sebab, pada hari-hari mendatang hingga mendekati pelaksanaan pileg 9 April 2009, akan semakin banyak alat peraga kampanye yang dipasang. Semakin banyak yang dipasang, peluang pelanggarannya tentu akan semakin besar. Dan, ini tidak boleh dibiarkan. Bahkan, beberapa daerah malah sudah ada yang mengantisipasi dengan pemberlakuan perda. Salah satu tujuannya supaya ketertiban, keindahan, kebersihan dan kerapian daerahnya tidak dikotori oleh poster-poster caleg yang ‘'nampang'' sembarangan.
Namun yang harus di perhatikan, letak pemasangan, apakah sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh kepala daerah mengenai lokasi dan tempat pelaksanaan kampanye. Penegasan tersebut supaya letak dan posisi atribut tersebut tidak menggangu aktifitas dan ketertiban umum.
Fenomena boliho ini bisa jadi polemik bagi kita. Baliho merupakan bentuk sosialisasi awal untuk mempermudah orang mengenal caleg. Baliho relatif murah karena tidak dipungut retribusi oleh pemda setempat, kecuali bila dipasang pada billboard permanen. Biaya baliho relatif murah, dibanding biaya turun langsung ke masyarakat. Dan dengan tampilan yang menarik bahkan foto-foto sensasional, akan mudah diingat orang .
Di satu sisi lain, baliho sudah terlalu banyak, sulit mengenalinya satu sama lain dalam waktu sekilas tidak dapat menunjukkan pribadi, pengalaman, dan prestasi maupun prestasi caleg. Selain itu sering dipasang di tempat-tempat yang menyalahi peraturan.
Walhasil, fenomena baliho politik (Pilkada, Pemilu legislatif dan Pilpres) memang cukup menarik untuk bahan renungan. Ya renungan tentang makna kehidupan dunia sebagai sebuah permainan. Dalam permainan itu, ada yang serius bermain, ada yang jujur dalam permainan, ada yang menyuguhkan permainan bermutu, ada yang menyuguhkan permainan kampungan, dan ada pula yang menggelikan karena dipermainkan oleh permainan.





*Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendedidikan Bahasa Indonesia dan Daerah fakultas sastra Universitas Negeri Malang.


SERTIFIKASI GURU: PERLUKAH?
Hanif Hubbuddin Al- Islami (107211407091) *
Apakah memang sertifikasi guru bisa menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia? Mengapa kesejahteraan harus diberikan melalui sertifikasi? Mengapa S1? Apakah lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dinilai belum memiliki standar kompetensi guru? Dan bagaimana dengan guru senior?
Dalam membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal, guru profesional dan bermartabat menjadi impian kita semua karena akan melahirkan anak bangsa yang cerdas, kritis, dan berakhlak. Guru profesional dan bermartabat memberikan teladan bagi terbentuknya kualitas sumber daya manusia yang kuat. Pelaksanaan sertifikasi guru diharapkan mampu sebagai solusi berkaitan dengan pencapaian standar guru yang profesional.
Kita perlu melihat secara komprehensif tentang permasalahan pendidikan di Indonesia. Dari fakta yang ada, pendidikan merupakan salah satu dimensi yang tidak terpisahkan dengan yang lainnya. Sehingga sertifikasi guru sebenarnya akan memberikan tantangan tersendiri bagi guru yang bersangkutan. Dan, secara perlahan-lahan akan memberikan output guru yang berkompeten dan profesional. Tapi tidak semua guru-guru akan berpikiran ke arah tersebut karena diperlukan kesadaran masing-masing pihak dan hal-hal lainnya. Mengingat banyaknya rintangan yang dihadapi maka proses ini akan memakan waktu yang sangat lama.
Untuk itu, para guru perlu memahami esensi di balik program sertifikasi ini. Rata-rata orientasi sertifikasi hanya dipandang dari sisi insentif atau kenaikan gaji setelah mendapat sertifikat profesi. Padahal, peningkatan kualitas diri sebenarnya lebih penting. Untuk itu, para guru perlu sadar diri untuk melakukan pengembangan diri dalam bidang pembelajaran. Tanpa ada kesadaran diri (self awarness) maka sertifikasi ini akan menjadi formalitas semata, bahkan merugikan pemerintah dari sisi anggaran. Berbagai bentuk training yang mengarah pada pengembangan pengetahuan (knowledge development) maupun pengembangan keterampilan (skill development) sangat dituntut.
Memang benar bahwa program sertifikasi guru sejak awal sepertinya memang dimaknai sebagai upaya nyata pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Namun demikian, pemerintah tidak akan memberikan kesejahteraan itu hanya dengan sistem sama rata dan sama rasa kepada guru. Mengingat amanat UU guru harus berijazah S1, maka pemberian sertifikasi pada tahap awal ini adalah mereka yang telah berijazah S1. Kemudian Permendiknas mengatur bahwa sistem yang digunakan untuk melakukan sertifikasi adalah dengan penilaian portofolio. Pada tahap awal ini yang digarap adalah sertifikasi untuk guru dalam jabatan atau yang sudah terjun menjadi guru. Sementara itu, pada tahapnya nanti, proses sertifikasi juga akan diberlakukan bagi mereka yang mengikuti proses pre-education melalui LPTK. Dengan demikian, proses sertifikasi tahap pertama ini lebih sebagai shock therapy bagi guru yang belum S1 agar sadar bahwa UU mengamanatkan bahwa syarat untuk menjadi guru adalah S1. Juga untuk yang sudah S1 sekalipun, mereka harus dicek melalui portofolio apakah mereka telah memiliki 4 (empat) standar kompetensi guru yang diharapkan, yakni (1) pedagogis, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesi. Jadi, Akta 4 dan S1 yang telah mereka peroleh dari LPTK masih harus dicek dan dinilai dalam praktiknya setelah menjadi guru. Mereka yang telah mencapai nilai yang ditetapkan akan dinyatakan telah lulus sertifikasi dan memperoleh sertifikat sebagai guru. Tentu saja, sertifikat yang telah diperoleh para guru akan selalu dimonitor apakah mereka masih memenuhi prasyarat yang harus dipegangnya. Walhasil, program sertifikasi memang terkait dengan kesejahteraan, tetapi di samping itu memiliki misi untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Dengan demikian, proses sertifikasi sama sekali tidak sebagai ”menyekolahkan kembali” para guru ke LPTK.
Lulusuan LPTK sebenarnya harus memiliki standar kompetensi guru. Namun setelah menjadi guru, sejauh ini belum diketahui apakah lulusan LPTK itu telah melaksanakan kompetensinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk itu maka diperlukan satu mekanisme untuk mengecek kembali pelaksanaan kompetensi itu di lapangan melalui penilaian portofolio. Proses ini sama sekali bukan untuk mempersulit para lulusan LPTK tersebut. Sudah selayaknya memang guru yang telah S1 masih perlu dibedakan antara guru yang telah berhasil menduduki jabatan dan pangkat tertentu, misalnya III dan IV. Dan di masa yang akan datang lulusan LPTK diharapkan secara langsung akan memperoleh sertifikat kewenangan mengajar. LPTK juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan proses sertifikasi prajabatan bagi lulusan perguruan tinggi non-LPTK yang ingin menjadi guru.
Para guru yang sudah senior, yang memiliki masa kerja mungkin lebih dari dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun, tetapi belum juga menyandang gelar S1. Tidakkah para guru yang seperti itu layak dinilai kompetensinya? Bahkan, mereka telah menghasilkan banyak pemimpin di negeri ini. Setahun sampai lima atau sepuluh tahun lagi para guru itu malahan telah pensiun. Para guru itu pasti akan merasa tidak bersemangat lagi ketika ada koleganya yang masih relatif muda, tetapi mereka telah S1 dan telah lulus sertifikasi. Itulah dampak negatif yang mungkin saja terjadi akibat dari proses sertifikasi guru. Isu ketidakadilan dalam proses ini telah merebak hati para guru. Sampai akhirnya banyak usulan yang disampaikan kepada pemerintah agar program sertifikasi guru dihapuskan saja. Program yang semula menjadi secercah harapan bagi para guru, ternyata kini telah menuai kritik yang sangat tajam. Kritik ini tentu harus memperoleh respon yang wajar dari pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional pada khususnya. Para guru senior itu memang ada yang belum dapat menggunakan waktunya untuk mencapai kualifikasi akademis S1. Tetapi, apakah pengalaman mengajarnya selama itu tidak dapat meningkatkan kompetensi yang setara dengan lulusan S1? Kalau saja dapat, tidakkah wajar apabila pengalaman para guru senior itu memperoleh kesetaraan dengan S1?
Jangan sampai guru menjadi bagian dari masyarakat yang terlibat dalam penggunaan anggaran negara tanpa bekerja profesional. Perlu diingat, insentif profesi yang akan diberikan kepada guru adalah uang APBN yang notabene uang rakyat. Oleh karena itu, jika nantinya semua guru telah mendapat sertifikat dan kinerjanya tidak profesional maka tidak jauh beda dengan melakukan korupsi berjamaah, sebab tujuan UU Guru dan Dosen tidak terealisasi.
Semua ini menguji komitmen guru dalam melaksanakan tugas mulia pendidikan. Kita berharap pemerintah tidak salah diagnosis, bahwa rendahnya mutu pendidikan adalah kualitas guru yang tidak bagus. Dan, inilah yang melatarbelakangi program sertifikasi yang bertujuan untuk mengukur, membina, dan meningkatkan kemampuan guru dalam berbagai aspek pendidikan dengan harapan kualitas pendidikan bisa menjadi lebih baik.

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendedidikan Bahasa Indonesia dan Daerah fakultas sastra Universitas Negeri Malang


Virus SBI dan Ajang Adu gengsi
Oleh: Hanif Hubbuddin Al-Islami (107211407091)

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) seakan menjadi tolak ukur baru kemajuan pendidikan di tanah air. Saat ini telah banyak bermunculnya beberapa sekolah yang tergolong SBI dalam berbagai jenjang pada setiap daerah di seluruh Indonesia. Program rintisan SBI ini telah dimulai sejak tahun 2006 lalu. Bahkan baru-baru ini, Mendiknas menyebutkan setidaknya pada tahun pelajaran 2008/2009 ini ada sekitar 200-an Sekolah Menengah Atas (SMA) dirintis menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). SBI sudah mewabah di seluruh satuan pendidikan. Tak heran jika sekolah-sekolah tengah sibuk untuk mempersiapkan diri agar dapat disahkan menjadi salah satu rintisan sekolah bertaraf internasional atau SBI .
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan SBI tersebut menginterferensi pada, UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pada pasal 50 ayat 3. Kedua, Peraturan Pemerintah dalam pasal 61 ayat 1. Dan ketiga, Rencana Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009. Bentuk penerapannya nanti setiap daerah minimal ada satu sekolah di setiap jenjangnya melalui kerja sama Pemkot dengan Diknas. Adanya kebijakan ini membuat setiap satuan pendidikan di setiap daerah saling berlomba agar disahkan menjadi salah satu rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.
Tujuan dari penyelenggaraan ini agar sekolah-sekolah bertaraf internasional ini mampu bersaing dan mampu mendongkrak kualitas dan kwantitas pendidikan di Indonesia. Mutu lulusan yang diakui dan setara dengan mutu lulusan sekolah Negara-Negara maju. Dengan harapan lulusan sekolah Indonesia adalah orang-orang yang bermutu tinggi dan mampu bersaing di ajang nasional maupun internasional.
Perbaikan sarana pendidikan, pemberdayaan sumber daya manusia dan pembangunan pemeliharaan di sekolah menjadi salah satu fokus sekolah rintisan itu. Selain itu, tenaga pendidik juga harus memenuhi standar pendidikan. Pendidik harus memenuhi standar pendidikan. Diantaranya untuk SMA minimal 30 persen guru berpendidikan S2 atau S3 dari perguruan tinggi (PT) yang program studinya berakreditasi A, sedangkan tenaga kependidikan seperti kepala sekolah minimal berpendidikan S2 dari PT yang program studinya berakreditasi A. Jika berhasil disahkan sebagai sekolah bertaraf internasional oleh pemerintah, seluruh kelas dapat ditambahkan kurikulum internasional.
Setelah beberapa lama ini memang pendidikan kita terkesan mengalami kemunduran. Kita telah ketinggalan dengan Malaysia yang dulunya belajar ada kita. Dengan adanya SBI mungkin bisa menjawab kenapa pendidikan kita masih ketinggalan dengan yang lain. Sebagai salah satu bukti keseriusan pemerintah, SBI diharapkan mampu meningkatkan pendidikan yang bermutu sebagaimana yang telah tercantum dalam UU.
Maraknya penyelenggaraan SBI memunculkan pertanyaan, benarkah sekolah-sekolah tersebut berstandar internasional? Berdasarkan hasil pengamatan, faktanya sangat mengejutkan. Karena penyelenggaraan sekolah internasional kebanyakan kurang menggambarkan standar pendidikan bertaraf internasional. Kita bisa menyebutnya,baju merk luar negri tapi badan belum mandi. Karena dalam kenyataannya, penyelenggaraan sekolah internasional tidak lebih dari sekolah-sekolah reguler lainnya. Bedanya, media komunikasi dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris. Itupun masih bilingual.
Sebenarnya penyelenggaraan sekolah internasional tidaklah harus selalu menggunakan bahasa Inggris dalam pembelajarannya serta tidak mengabaikan pentingnya mengajarkan kearifan budaya lokal yang unik, yang memiliki daya tarik tersendiri di kancah global. Padahal sebenarnya, sekolah berstandar internasional adalah sebuah penyelenggaraan pendidikan yang memiliki kurikulum berstandar global dan didukung dengan infrastruktur pendidikan lengkap.
Di sisi lain, keberadaan SBI menjadi persoalan baru di kalangan masyarakat. Terutama bagi orangtua yang berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini karena biaya yang harus dikeluarkan bagi orangtua yang anaknya akan masuk di program tersebut terbilang sangat tinggi.
Temuan baru-baru ini benar-benar memprihatinkan dan kian menjadi pembenar, penyelenggaraan sekolah internasional selama ini hanya untuk membidik masyarakat yang selalu menganggap wah dengan sesuatu yang berlabel internasional. Selain itu, penyelenggaraan SBI yang banyak dilaksanakan di daerah selama ini lebih banyak bermotifkan bisnis, hanya untuk mendapatkan untung besar dan untuk menyombongkan diri bahwa ini adalah sekolah internasional.
Sekolah-sekolah saat ini seakan-akan berlomba untuk berebut menjadi SBI. Bukan lantaran sekolah tersebut telah siap menyelenggarakan program tersebut, tetapi karena dengan SBI sekolah dapat menarik pungutan yang jauh lebih tinggi kepada orangtua, tentunya dengan berbagai alasan untuk membeli fasilitas-fasilitas sekolah yang mungkin kurang perlu.
Sehingga dugaan penyelenggaraan sekolah internasional sengaja membidik segmen pasar kalangan menengah atas yang tidak cukup mampu untuk mengirim anaknya untuk menempuh pendidikan di luar negeri memanglah benar. sebuah strategi bisnis pendidikan yang cukup jitu. Hal ini semua cukup menggambarkan bahwa SBI hanya dijadikan ajang adu gengsi tiap satuan pendidikan untuk mendongkrak pamor saja.
Pemerintah seharusnya menyadari akan pentingya menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. aksesibilitas masyarakat dalam memperoleh pendidikan berkualitas harus tetap sama. Muatan kurikulum tentang kearifan budaya lokal tidak bisa diabaikan. Karena hanya dengan demikianlah, negeri ini akan terhindar dari degradasi ilmu pengetahuan. Sebaliknya, diharapkan akan banyak bermunculan generasi baru harapan bangsa, yang dalam sepakterjangnya nanti akan lebih mengutamakan kesejahteraan kolektif.