Senin, 15 Juni 2009

hooooeeeyyyyyyyyyy.............

MEMAHAMI NILAI- NILAI PERJUANGAN DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemilihan Puisi dan Pendekatan
Pada tahun 1920 Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, hal ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia termasuk di bidang bahasa dan sastra, akibatnya aktivitas bahasa dan sastra berkembang sesuai dengan kondisi setempat di bawah penjajahan Belanda. Sebagai akibat pelaksanaan politik etis atau balas jasa (Indonesia). Maka diusahakanlah aktivitas di tiga bidang yakni: Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi. Wujud pengembangan aktivitas edukasi adalah didirikannya sekolah-sekolah. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu badan yang kemudian bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Di samping itu, badan ini mengusahakan TAMAN PUSTAKA atau perpustakaan yang ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat, badan ini diperluas dan diperbesar seiring dengan makin banyaknya tamatan seolah yang memerlukan bahan-bahan bacaan, dan badan ini kemudian dinamakan Balai Pustaka.
Pengarang sastra 20-an dinamai Angkatan Balai Pustaka sesuai dengan nama penerbit yang merupakn pusat kegiatan sastra pada waktu itu. Karya-karya terbitan balai pustaka disebut-sebut sebagai karya yang mengawali sastra Indonesia, Balai pustaka memang memegang peranan penting, tetapi menilik hasi-hasilnya badan itu tidak dapat dikatakan mewakili seluruh kegiatan sastra 20an, karena perkembangan puisi tidak begitu bergairah dibanding dengan roman, puisi dapat berkembang dan dikenal pada angkatan berikutnya atau pada angkatan Pujangga Baru. Meskipun pada angkatan ini puisi hanya sedikit, tetapi pada angkatan Balai Pustaka juga melahirkan penyair terkenal seperti,
1.Muhhamad Yamin :Tanah Air dan Indonesia Tumpah Darahku.
2.Roestam effendi :Percikan Permenungan.
3.Sanusi pane :Pancaran Cinta dan Puspa Mega.
Selain mereka bertiga, masih ada bebrapa penyair yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka, antara lain:
1. Aman Datuk Mojoindo : Syair si Banso (gadis durhaka), 1931
: Syair Gul Bakawali, 1936
2. Tulis Sutan Sati : Sayair Siti Marhumah yang Saleh.
3. Hamzah Fansuri : Syair Perahu
Muhammad Yamin, Rustam Efendi dan Sanusi Pane yang disebut-sebut sebagai penyair Balai Pustaka sebenarnya digolongkan pada pra pujangga baru atau sastra di luar Balai Pustaka atau sastra liar. Muhammad Yamin ingin mengangkat pemakaian bahasa Indonesia (yang pada waktu itu masih bahasa Melayu) karena pada waktu itu pemakaian bahasa Belanda merupakan ciri khas bagi masyarakat lapisan atas Bangsa Indonesia. Muhammad Yamin dengan tepat melihat ciri utama suatu bangsa ialah bahasa. Oleh sebab itu perjuangan untuk kemerdekaan bangsa harus disertai usaha memajukan bahasa sendiri. Hal itu ternyata ditunjukkan dalam ciptaan-ciptaannya yaitu Tanah Air dan Indonesia Tumpah darahku. Dengan semangat yang dijalankan oleh keyakinan yang tidak pernah goncang, ia menganjurkan cita-citanya dalam kata dan perbuatan. Dalam puisi “Bahasa Bangsa”, Muhammad Yamin terlihat sangat mengagungkan tanah airnya. Ia yakin bahwa perpecahan memang harus dihilangkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan.
Dalam puisi Muhammad Yamin, digambarkan kebesaran nusantara pada masa silam, tetapi pada perkembangan selanjutnya sajak-sajak itu mencakup tanah air dalam konteks yang lebih luas, meliputi seluruh nusantara. Selain Muhammad Yamin, Roestam Effendi adalah penyair yang terkenal juga pada angkatan Balai Pustaka. Salah satu karyanya adalah puisi yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi. Pada puisi ini tampak Roestam Effendi yang menginginkan adanya perubahan cita-cita kebangsaan. Roestam Effendi juga menulis puisi yang berjudul Tanah Air yang menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Puisi yang berjudul Mengeluh, mencerminkan sikap Roestam yang tidak rela bangsanya dalam cengkeraman penjajah.
Dalam mengkaji sebuah puisi ada beberapa pendekatan-pendekatan yang digunakan, pendekatan itu antara lain pendekatan mimetik, pendekatan obJektif, pendekatan pragmatik dan pendekatan ekspresif. Untuk mengapresiasi puisi Balai Pustaka, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan analitik dan pendekatan historis. Pendekatan analitik dipilih karena dalam mengapresiasi puisi tidak mungkin kita tidak menganalisis unsur instrinsik puisi tersebut. Sedangkan pendekatan historis dipilih karena puisi Balai Pustaka kebnyakan merupakan cerminan masyarakat pada masa itu, seperti pada puisi Muhammad Yamin yang didasarkan pada rasa cinta tanah air.

Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan dari pada kegiatan ini sesuai dengan latar belakang agar hasil dari kegiatan apresiasi puisi ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam kegiatan apresiasi puisi dan dapat bermanfaat bagi pembaca, maka penulis menggunakan pendekatan historis disamping pendekatan analitik. Kegiatan apresiasi dengan mengunakan pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mengungakap berbagai maksud yang tercermin dalam puisi Indonesia angkatan Balai Pustaka. Pendakatan analitik di sini berarti kegiatan apresiasi dimaksudkan untuk menggambarkan suatu unsur intrinsik puisi serta hubungan unsur-unsur puisi, jika dilihat dari pendekatan historis pada hakikatnya tujuannya untuk memahami puisi.

Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi.
Pendekatan analitik yaitu pendekatan yang memfokuskan perhatian terhadap karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dari realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek dan Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan instrinsik karena kajian difokuskan pada struktur instrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. Pendekatan ini memfokuskan pada struktur instrinsik puisi yang antara lain diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi dan persajakannya. Dalam analisis ini pengarang, realitas yang melatarbelakangi dan mungkin diacu, juga bagaimana pembaca memaknai puisi tersebut tidak dimaknai sama sekali.
Pendekatan analitik biasanya juga disebut sebagai pendekatan struktural. (Teeuw,1984) karya sastra dipandang sebagai suatu yang otonom berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Pendekatan ini bertujuan memaparkan secermat dan mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua unsure dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,1984).
Walaupun pendekatan struktural telah mampu menganalisis dan memaknai suatu karya sastra,tetapi pendekatan tersebut sebenarnya memiliki kelemahan. Pendekatan struktural memiliki empat kelemahan sehingga analisis dengan pendekatan tersebut harus dilanjutkan dengan analisis yang menggabungkan dengan pendekatan lainnya, misalnya pendekatan semiotik kritik A Teeuw (1984) terhadap pendekatan struktural:
a. New criticism secara khusus dan analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
b. karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarahnya.
c. Adanya struktur yang obyektif pada karya sastra makin diasingkan,sementara itu peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis structural.
d. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu dimenaragadingkan dan kehilanngan elevansi sosialnya.
Pendekatan historis adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya sastra dengan relitas atau kenyataan. Karya sastra dianggap sebagai tiruan ataupun cermin dari realitas. Pendekatan historis merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang, peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi terwujudnya karya sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan sastra.
Didalam pendekatan historis terdapat hal yang harus dipakai juga seperti biografi pengarang. Pemahaman biografi pengarang merupakan satu hal yang penting dalam upaya memahami kandungan makna dari suatu karya sastra.
Menurut teori mimesis, di dalamnya terdapat pendekatan histories yaitu bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau gambaran suatu realaistas yang menggambarkan keadaan di zamannya. Melalui pendekatan historis dalam karya sastra kita akan banyak mengetahui latar belakang mengapa karya sastra tersebut diciptakan dan peristiwa-peristiwa apa yang menjadi latar dari penciptaan karya sastra.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan historis adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya. Sering kali penciptaan karya sastra dipengaruhi oleh pandangan tentang kesastraan pada suatu zaman.
Selain itu, sebagai suatu pendekatan dalam mengapresiasi sastra, pendekatan histories bukan merupakan pendekatan yang semata-mata membahas aspek kesejarahan karena tujuan akhir pendekatan histories adalah untuk memahami atau mengapresiasi suatu karya sastra. Dengan kata lain, pada hakikatnya pendekatan histories juga merupakan jalan untuk mengapresiasi suatu karya sastra.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemahaman latar histories yang berkaitan dengan peristiwa kesejarahan pada suatu zaman, konvensi penciptaan atau aliran yang dianut serta biografi pengarang, menjadi semacam kunci pemahaman kandungan makna karya sastra yang diapresiasi.

Prosedur kerja apresiasi puisi dalam pendekatan analitik puisi angkatan balai pustaka
• Mencari berbagai macam referensi puisi angkatan Balai Pustaka.
• Membaca berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mamahami dan menghayati berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Memilih dan memilah beberapa puisi angkatan Balai Pustaka untuk dianalisis.
• Menganalisis beberapa puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mengaplikasikan beberapa puisi angkatan Balai Pustaka Yang telah dianalisis dalam bentuk makalah.


Berbeda dengan pendekatan Analitik, pendekatan histories lebih ditekankan pada peristiwa kesejarahan serta perkembanagn kehidupan sastra.
• Membaca untuk mengatahui peristiwa kesejarahan.
• Menganalisis latar belakang peristiwa kesejarahan.
• Mengaplikasikan latar belakang peristiwa kesejarahan


KARAKTERISTIK PUISI ANGKATAN 20-AN

Karakteristik Bahasa
Pada angkatan Balai Pustaka bahasa yang sering muncul adalah bahasa melayu tinggi, bahasa melayu tinggi sulit dipahami bagi kita karena sekarang bahasa yang kita gunakan bukanlah bahasa melayu. Seperti kutipan dalam puisi Bahasa, Bangsa sebagai berikut ini:

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang

Bahasa melayu yang ada di atas misalnya, /jana bejana/ yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti hidup.
Diksi atau pemilihan kata sangat berpngaruh dalam konstruksi puisi hubunganya dengan komposisi bunyi, sebagai contoh dalam puisi”Bahasa, Bangsa” Muhammad Yamin menulis salah satu baris berbunyi: Andalasku sayang, jana bejana/ Sejakkan kecil muda taruna/ maka kata dalam baris itu tidak dpt dibolak balik karena akan merusaka kontruksinnya. Pada angkatan Balai Pustaka bahasa puisinya bersifat konotatif atau brmakna konotasi, atu memiliki kemungkinan memiliki arti lebih dari satu, seperti kutipan berikut ini

Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda

Kata /bunda/ pada kutipan diatas memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu, bisa berarti negara, bansa ataupun tumpah darah sesuai dengan koherensi makna sebelumnya. Kata konkret seperti /kecil/, /anak/, /bunda/ yang dgunakn berfungsi sebagai imaji bagi pembaca supaya berdy bayang tinggi sehingga seolah-olah merasakan sendiri. Adapaun karakteristik yang menyangkut bahasa kias yakni /tidur si anak di pangkuan bunda/. Anak disini memiliki fungsi pengganti untuk seluruh masyarakat sumatra/ seluruh bangsa.sedangkn bunda disitu mewakili seluruh nusantara , selain bahasa kias dala karakteristik juga terdapat imajeri, dan sarana retorika.
Contoh imajeri taktil /seiap saat disimbur sukar/, dan sarana retorika /bermandi darah bermandikan dendam/, yang mmbermakna hiperbola.

Karakteristik Bentuk
Ada dua hal yang penting dalam karkteristik bentuk. Yang pertama adalah pengulangan bunyi yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope.
Brikut ini kutipan puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Efefendi.

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Desis pada sebuah kata dalam puisi memberikan efek tertentu, seperti kata /bukan/ pada baris satu dan tiga,/pandai/,pada baris dua dan,/musti/ pada baris empat. Memilkim rima abab. Sedankan alitrasi dapat ditemukan dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Effendi.

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Sedangkan yang kedua adalah verifikasi yan mencangkup rima, baris atau larik, dan satuan bentuk puisi. Puisi angkatan Balai Pustaka menggunakan rima rangkai. Barisnya biasanya berisikan 14 baris karena satuan bentuk puisi ini berupa soneta.


Karakteristik Isi
Karakteristik isi puisi mencangkup tema, nada, dan suasana, perasaan dalam puisi, amanat, dan nilai puisi. Tema yang dipajkai pada ankatan Balai Pustaka berkutat pada masalah nasionalisme. Seperti yang termuat dalam puisi Bahasa Bangsa, Bukan Beta Bijak Berperi, Tanah Air, Mengeluh. Adanya pesan penyair dalam angkatan ini begitu kuat untuk bersatu,mencintai tanah air dan semangat nasinalisme.seperti dal puisi mengeluh, penyair mengungkapkan bahwa Indonesia adalah suatu keadaan yang diibaratkan bunga yang cantik menawan akan tetapi bangsanya sangat menderita karena penjajah. Kutipan puisi mengeluh,

Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam,
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam

amanat yang terkandung dalam pisi angkatan Balai Pustaka adalah adanya keinginan untuk mempersatukan bangsa untuk bisa bebas dari belnggu penjajah Hindia Belanda, sehingga Indonesia mampu hidup makmur. Nilai yang muncul pad angkatan Balai Pustaka yang diwakili oleh Muhammad Yamin dan Roestam Effendi adalah kecintaan terhadap tanah air.


HASIL APRESIASI PUISI ANGKTAN BALAI PUSTAKA
Puisi I;
Bahasa bangsa

Selagi kecil berusia muda,
Tidur sianak dipangkuan bunda
Ibu bernyanyi. Lagu dan dendang,
Memuji sianak banyaknya sedang

Berbuai sayang malam dan siang,
Buaian tergantung di tanah tuan

Terakhir dibangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri,
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka sertakan rayu,

Perasaan serikat menjadi padu,
Dalam bahasanya permain merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Dimana sumatra, disitu bangsa
Dimana perca, disana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang
(1920)

Dari Segi Bahasa
Dari segi bahasanya,” Bahasa Bangsa” karya Muhammad Yamin menggunakan bahasa melayu tinggi. Sedangkan diksi/pemilihan kata yang digunakan dalam puisi di atas menggunakan kata yang memiliki makna konotasi seperti yang terdapat pada: /tanah moyang/, /jana bejana/. Tanah moyang disini memiliki makna tempat kelahiran atau tempal asal usul kita dalam puisi di atas sumatera, dan jana bejana mengandung makna pertautan makna. Dalam puisi di atas terdapat kata-kata yang bersifat kongkrit , yakni: /si anak/, /bunda/, /tanah moyang/, /bangsa/, /keluarga/, /besar/, /tanah melayu/, / Sumatera/, /perca/, /andalasku/, /dan/, /pemuda/. Maksud konkrit disini digunakan untuk menekankan daya bayang. Selain itu puisi “Bahasa Bangsa” menggunakan gaya bahasa majas metonimia, yakni menyebut atribut atau merk: /perca/ dan /andalasku/. Andalasku disini mewakili nama merk. Sarana retorika yang tampak pada puisi “Bahasa Bangsa” adalah antitesis seperti yang terdapat pada kata /berduka suka/, /meratap menangis bersuka raya/, dan /dalam bahagia bala dan baya/. Imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seperti yang terdapat pada kutipan berikut.

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasannya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Dari Segi Bentuk
Puisi dibedakan menjadi dua yakni: bunyi, yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan verifikasi. Segi bentuk yang pertama dalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi.
Rima dalam puisi diatas adalah /aabb/aa/aabb/aabb/aaaa/aabbcc/.
Alitersi yang muncul terdapat pada bait kedua:

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Bentuk puisi kedua versivikasi yang mencakup rima dan satuan bentuk. Rima yang terdapat puisi ini adalah rima rangkai. Sedangkan satuan bentuk puisinya bebas.

Dari Segi Isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana,perasaan dalam puisi, amanat serta nilai. Dalam puisi diatas mengandung tema cinta tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah keinginan yang gigih untuk menciptakan suatu persatuan kususnya di Sumatra. Perasaan puisi diatas berisi tetntang rasa cinta terhadap pulau tempat ia dilahirkan. Amanat yang terkandung dalam puisi di atas adalah rasa bersatu diwaktu senang dan susah itu diperlukan. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai kecintaan terhadap tanah air yang dalam puisi diatas diungkpan Sumatra.

Puisi II:

Bukan beta bijak berperi

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Sarat-sarat saya mugkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya susah sesaat
sebab madahan tidak nak datang
sering saya sulit menekat
sebab terkurung lukisan mamang

bukan beta bijak berlagu
dapat melemah bingkaian pantun
bukan beta berbuat baru
hanya mendengar bisikan alun

Dari Segi Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah melayu tinggi. Diksi yang digunakan pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada /budak Negeri/ yang menggandung makna orang yang dijajah Belanda(pada waktu itu). /Lagu/ yang mengandung makna karya sastra yang dibuat pengarang. /Alun/ yang mengandung makna kata-kata hati penyair. Kata-kata yang bersifat konkret juga didapati dalam puisi ini, yakni:/Beta/,/saya/,/susah/. Imajeri yang muncul adalah auditif yang tampak pada bait ke-lima.

Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.

Dari segi bentuk
Puisi ini dibedekan menjadi dua yakni bunyi dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencakup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi ini adalah /abab/acac/dede/fgfg/eded/. Aliterasi yang aada pada puisi ini, terdapat pada bait pertama yaitu:

Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair,
Bukan bet budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.


Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain:/beta/,/bijak/,/bukan/,/berperi/,/budak/. Bentuk puisi yang kedua aadalah verifikasi yang mencakup rima baris dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi ini adalah lima rangkai. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 20 baris. Satuan bentuknya adalah stanza. Penggulangan kata atau ungkapan dalam puisi diatas antara lain:/sarat-sarat/,/degup-degupan/.
Persajakan sangat menarik perhatian Roestam. Tak ada satupun sajaknya yang mengabaikan persajakan. Suatu hal yang mengembirakan adalah kesanggupanya untuk menghindari kebiasaan buruk yang lazim dalam puisi melayu.

Dari segi isi
Tema yang diangkat adalah nasionalisme. Perasaan dalam puisi ini yaitu penyair merasa terkekang serta ingin bebas halangan yang ia hadapi. Sajak ini pada dasarnya merupakan manifestasi sikap dan cita-cita angkatan muda terhadap persajakan yang lama, adat istiadat usang dan peraturan kaum penjajah yang menghalang-halangi cit-cita kebangsaan yang sedang tumbuh. Nada dan suasana puisi adalah penyair ingin meninggalkan persajakan lama dan kekangan dari penjajah Belanda. Amanat dalam puisi ini bahwa penyair menghendaki pembaca untuk mengikuti keinginan hati dan tidak terkekang pada peraturan yang dapat menghambat kemajuan.


Puisi III

Tanah air

Berpadang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau.
Berlangit bertudung awan
Burgunung berbukit, berpantai lautan
O, tanah airku, yang indah sangat.

O, tanah airku yang beta cinta
Di malam menjadi mimpi,
Disiang merayan hati,
Terkurang madahan syair
Pelagukan ihtisyim asmara kadir
O, tanah airku yang beta cinta


Dari segi bahasa
Puisi diatas menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi, seperti kutipan dibawah ini:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kata- kata yang bersifat kongkret puisi Angkatan Balai Pustaka ini,antara lain yakni:/berlembah/, /bergunung/, /berbukit/, /lautan/. Selain itu puisi Tanah Air menggunakan imajeri visual seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat



Dari segi bentuk
Kutipan puisi “Tanah Air” adalah sebagai berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kutipan di atas mengandung aliterasi, Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain: /berlembah/, dan /bekasan/;/berlangit/, dan/bertudung/: serta/bergunung/, /berbukit/, dan/berpantau/. Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima ,baris,dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi Tanah Air adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehingga satuan bentuknya adalah soneta.

Dari segi isi
Isi puisi memiliki cakupan antara lain tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi Tanah Air adalah kecintaan terhadap tanah air. Nada dan susana puisi tersebut memberikan suatu penggambaran nusantara yang indah. Perasaan dalam puisi diatas berisikan tentang ungkapan kecintaan terhadap tanah air. Amanat yang terkandung didalam puisi tersebut bahwa nusantara yang begitu kaya dan indah harus selalu dijaga. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai nasinalisme dan menumbuhkan kecintan terhadap tanah air yakni Indonesia.

Puisi IV
Mengeluh
I
Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam

Menangis mata melihat makhluk
Berharta bukan berhakpun bukan
Inilah asib negeri nanda
Memerah madu menguruskan badan

Ba’mana beta bersuka cita
Ratapan rakyat riuhan gaduh
Membobos masuk menyayu kalbuku

Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh
Menghimpit madah, gubahan cintaku


II
Bilakah bumi bertabur bunga
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Di petik jari, yang lemah lembut
Ditandai sayap kemerdekaan rakyat?

Bilakah lawan bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada terkata?

Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna syairku
Disitulah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput manikam bangsaku



Dari segi bahasa
Pada puisi diatas banyak di temukan diksi yang digunakan menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi seperti:/ suara sebat sedaan rusuh/ yang mengandung makna isak tangis. Kata-kata yang bersifat konktret juga ditemukan dalam puisi Angkatan Balai Pustaka, yakni:/beta/, /bunga/, /makam/, /darah/, /mata/, /makluk/, /negri’ nanda/, /badan/, /ra’yat/, /bumi/, dll. Selain itu, di dalam puisi Mengeluh imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seprti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini:

Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam


Dari segi bentuk
Segi bentuk dalam puisi ini dibedakan menjadi dua yakni, bunyi menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi “mengeluh” adalah bebas. Selain itu, aliterasi ada pada kutipan berikut ini:

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna sa’irku

Perulangan bunyi konsonan pada utipan di atas antara lain: /baru/, /bermohon/, dan/bta/ ;/badanku/, /berkubur/, dan/ bunga/, seta/bunga/ dan/bingkisan/.
Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima,baris, dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi mengluh adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehinga satuan bntuknya adalah soneta.

Dari Segi isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi “mengeluh” adalah kekecewaan terhadap keadaan yang melanda tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah kesedihan yang mendalam. Perasaan dalam puisi di atas berisikan tentang ungkapan perasaan. Amanat yang terkandung di dalam puisi tersebut adalah menunjukkan
betapa negeri ini sangat tertindas sehingga lebih baik mati dari pada dijajah. Sedangkan nilai yan terkandung didalam puisi adalah nilai nasionalisme yang tidak mau terus- menerus tunduk pada penjajah karena baginya lebih baik mati dari pada dijajah.


NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Pada angkatan Balai Pustaka nilai yang terkandung dalam puisi-puisi yang dihasilkan kebanyakan lebih bersifat nasionalisme, selain puisi juga di temukan syair, seperti syair Putri Hijau dan Syair Siti aminah. Sastrawan yang tidak mau menndatangani nota ringks sprti Mohammad Yamin puisi yang dihasilkan lebi bersifat nasionalisme. Nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Mohammad Yamin adalah menumbuhkan sikap cinta tanah air. Hanya sedikit orang yang sadar bahwa kemerdekaan harus ditegakkan. Ada kalannya rasa takut terhadap penjajah di kesampingkan untuk memperoleh hak-hak kita. Untuk menegakkan kemerdekaan tersebut ditanamkan kecintaan terhadap tanah air. Cara tersebutlah yang digunakan oleh para penyair liar untuk menumbuhkan sikap nasinalisme penduduk pribumi terhadap tanah air. Persatuan merupakan bagian penting untuk mencapai suatu tujuan,baik dalam keadan bahagia maupun menderita persatuan harus tetap terjaga. Muhammad Yamin begitu menggebu untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, maka dengan media puisi ia tuangkan rasa cintannya. Seperti dalam kutipan tersebut ini;

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya.

Dalam bait diatas nilai nasinalisme sangat melekat pada cita-cita Muhammad Yamin.
Dalam puisi Roestam Effendi yang berjudul “mengeluh” nilai nasinalisme sangat kental seperti pada kutipan berikut:


Menagis mata melihat makluk
Berharta bukan brhakpun bukan
Inilah nasib negeri nada
Memerah madu mengurus badan

Bait diatas mengungkap penderitaan karena penjajahan Belanda. Penjajah menjadikan negara Indonesia semakin menderita.



























PENUTUP
KESIMPULAN
Puisi angkatan Balai Pustaka pada umumnya bertemakan nasionalisme, cinta tanah air. Puisi-puisi angkatan ini bertujuan memberikan semangat pada seluruh pribumi untuk mencintai tanah airnya. Betapa tidak enak jika hak-hak kita selalu di ambi orang/ penjajah.
Pada masa ini merupakan masa bangkitnya pengarang-pengarang untuk mengungkapkan isi hatinya demi negara walau pada masa ini adalah masa yang sulit karena adanya kekangan dari penjajahan. Selain itu adanya batasan karya yang menghambat perkembangan sastra kususnya yang berbau nasionalisme demi memperoleh hak-hak yang semestinya.





















Daftar Pustaka

Alisjahbana, S Takdir. 1978. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: CV. Sinar Baru
Enre, Fachrudin Ambo. -------. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa
20-an. Jakarta: Gunung Agung
Harnoko, Dik. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Rosidi. Ajib. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Sarjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Waluyo, Herman.J. -------. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga






















MEMAHAMI NILAI- NILAI PERJUANGAN DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemilihan Puisi dan Pendekatan
Pada tahun 1920 Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, hal ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia termasuk di bidang bahasa dan sastra, akibatnya aktivitas bahasa dan sastra berkembang sesuai dengan kondisi setempat di bawah penjajahan Belanda. Sebagai akibat pelaksanaan politik etis atau balas jasa (Indonesia). Maka diusahakanlah aktivitas di tiga bidang yakni: Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi. Wujud pengembangan aktivitas edukasi adalah didirikannya sekolah-sekolah. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu badan yang kemudian bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Di samping itu, badan ini mengusahakan TAMAN PUSTAKA atau perpustakaan yang ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat, badan ini diperluas dan diperbesar seiring dengan makin banyaknya tamatan seolah yang memerlukan bahan-bahan bacaan, dan badan ini kemudian dinamakan Balai Pustaka.
Pengarang sastra 20-an dinamai Angkatan Balai Pustaka sesuai dengan nama penerbit yang merupakn pusat kegiatan sastra pada waktu itu. Karya-karya terbitan balai pustaka disebut-sebut sebagai karya yang mengawali sastra Indonesia, Balai pustaka memang memegang peranan penting, tetapi menilik hasi-hasilnya badan itu tidak dapat dikatakan mewakili seluruh kegiatan sastra 20an, karena perkembangan puisi tidak begitu bergairah dibanding dengan roman, puisi dapat berkembang dan dikenal pada angkatan berikutnya atau pada angkatan Pujangga Baru. Meskipun pada angkatan ini puisi hanya sedikit, tetapi pada angkatan Balai Pustaka juga melahirkan penyair terkenal seperti,
1.Muhhamad Yamin :Tanah Air dan Indonesia Tumpah Darahku.
2.Roestam effendi :Percikan Permenungan.
3.Sanusi pane :Pancaran Cinta dan Puspa Mega.
Selain mereka bertiga, masih ada bebrapa penyair yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka, antara lain:
1. Aman Datuk Mojoindo : Syair si Banso (gadis durhaka), 1931
: Syair Gul Bakawali, 1936
2. Tulis Sutan Sati : Sayair Siti Marhumah yang Saleh.
3. Hamzah Fansuri : Syair Perahu
Muhammad Yamin, Rustam Efendi dan Sanusi Pane yang disebut-sebut sebagai penyair Balai Pustaka sebenarnya digolongkan pada pra pujangga baru atau sastra di luar Balai Pustaka atau sastra liar. Muhammad Yamin ingin mengangkat pemakaian bahasa Indonesia (yang pada waktu itu masih bahasa Melayu) karena pada waktu itu pemakaian bahasa Belanda merupakan ciri khas bagi masyarakat lapisan atas Bangsa Indonesia. Muhammad Yamin dengan tepat melihat ciri utama suatu bangsa ialah bahasa. Oleh sebab itu perjuangan untuk kemerdekaan bangsa harus disertai usaha memajukan bahasa sendiri. Hal itu ternyata ditunjukkan dalam ciptaan-ciptaannya yaitu Tanah Air dan Indonesia Tumpah darahku. Dengan semangat yang dijalankan oleh keyakinan yang tidak pernah goncang, ia menganjurkan cita-citanya dalam kata dan perbuatan. Dalam puisi “Bahasa Bangsa”, Muhammad Yamin terlihat sangat mengagungkan tanah airnya. Ia yakin bahwa perpecahan memang harus dihilangkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan.
Dalam puisi Muhammad Yamin, digambarkan kebesaran nusantara pada masa silam, tetapi pada perkembangan selanjutnya sajak-sajak itu mencakup tanah air dalam konteks yang lebih luas, meliputi seluruh nusantara. Selain Muhammad Yamin, Roestam Effendi adalah penyair yang terkenal juga pada angkatan Balai Pustaka. Salah satu karyanya adalah puisi yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi. Pada puisi ini tampak Roestam Effendi yang menginginkan adanya perubahan cita-cita kebangsaan. Roestam Effendi juga menulis puisi yang berjudul Tanah Air yang menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Puisi yang berjudul Mengeluh, mencerminkan sikap Roestam yang tidak rela bangsanya dalam cengkeraman penjajah.
Dalam mengkaji sebuah puisi ada beberapa pendekatan-pendekatan yang digunakan, pendekatan itu antara lain pendekatan mimetik, pendekatan obJektif, pendekatan pragmatik dan pendekatan ekspresif. Untuk mengapresiasi puisi Balai Pustaka, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan analitik dan pendekatan historis. Pendekatan analitik dipilih karena dalam mengapresiasi puisi tidak mungkin kita tidak menganalisis unsur instrinsik puisi tersebut. Sedangkan pendekatan historis dipilih karena puisi Balai Pustaka kebnyakan merupakan cerminan masyarakat pada masa itu, seperti pada puisi Muhammad Yamin yang didasarkan pada rasa cinta tanah air.

Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan dari pada kegiatan ini sesuai dengan latar belakang agar hasil dari kegiatan apresiasi puisi ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam kegiatan apresiasi puisi dan dapat bermanfaat bagi pembaca, maka penulis menggunakan pendekatan historis disamping pendekatan analitik. Kegiatan apresiasi dengan mengunakan pendekatan ini mempunyai tujuan untuk mengungakap berbagai maksud yang tercermin dalam puisi Indonesia angkatan Balai Pustaka. Pendakatan analitik di sini berarti kegiatan apresiasi dimaksudkan untuk menggambarkan suatu unsur intrinsik puisi serta hubungan unsur-unsur puisi, jika dilihat dari pendekatan historis pada hakikatnya tujuannya untuk memahami puisi.

Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi.
Pendekatan analitik yaitu pendekatan yang memfokuskan perhatian terhadap karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dari realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek dan Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan instrinsik karena kajian difokuskan pada struktur instrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. Pendekatan ini memfokuskan pada struktur instrinsik puisi yang antara lain diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi dan persajakannya. Dalam analisis ini pengarang, realitas yang melatarbelakangi dan mungkin diacu, juga bagaimana pembaca memaknai puisi tersebut tidak dimaknai sama sekali.
Pendekatan analitik biasanya juga disebut sebagai pendekatan struktural. (Teeuw,1984) karya sastra dipandang sebagai suatu yang otonom berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Pendekatan ini bertujuan memaparkan secermat dan mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua unsure dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,1984).
Walaupun pendekatan struktural telah mampu menganalisis dan memaknai suatu karya sastra,tetapi pendekatan tersebut sebenarnya memiliki kelemahan. Pendekatan struktural memiliki empat kelemahan sehingga analisis dengan pendekatan tersebut harus dilanjutkan dengan analisis yang menggabungkan dengan pendekatan lainnya, misalnya pendekatan semiotik kritik A Teeuw (1984) terhadap pendekatan struktural:
a. New criticism secara khusus dan analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
b. karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarahnya.
c. Adanya struktur yang obyektif pada karya sastra makin diasingkan,sementara itu peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis structural.
d. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu dimenaragadingkan dan kehilanngan elevansi sosialnya.
Pendekatan historis adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya sastra dengan relitas atau kenyataan. Karya sastra dianggap sebagai tiruan ataupun cermin dari realitas. Pendekatan historis merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang, peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi terwujudnya karya sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan sastra.
Didalam pendekatan historis terdapat hal yang harus dipakai juga seperti biografi pengarang. Pemahaman biografi pengarang merupakan satu hal yang penting dalam upaya memahami kandungan makna dari suatu karya sastra.
Menurut teori mimesis, di dalamnya terdapat pendekatan histories yaitu bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau gambaran suatu realaistas yang menggambarkan keadaan di zamannya. Melalui pendekatan historis dalam karya sastra kita akan banyak mengetahui latar belakang mengapa karya sastra tersebut diciptakan dan peristiwa-peristiwa apa yang menjadi latar dari penciptaan karya sastra.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan historis adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya. Sering kali penciptaan karya sastra dipengaruhi oleh pandangan tentang kesastraan pada suatu zaman.
Selain itu, sebagai suatu pendekatan dalam mengapresiasi sastra, pendekatan histories bukan merupakan pendekatan yang semata-mata membahas aspek kesejarahan karena tujuan akhir pendekatan histories adalah untuk memahami atau mengapresiasi suatu karya sastra. Dengan kata lain, pada hakikatnya pendekatan histories juga merupakan jalan untuk mengapresiasi suatu karya sastra.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemahaman latar histories yang berkaitan dengan peristiwa kesejarahan pada suatu zaman, konvensi penciptaan atau aliran yang dianut serta biografi pengarang, menjadi semacam kunci pemahaman kandungan makna karya sastra yang diapresiasi.

Prosedur kerja apresiasi puisi dalam pendekatan analitik puisi angkatan balai pustaka
• Mencari berbagai macam referensi puisi angkatan Balai Pustaka.
• Membaca berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mamahami dan menghayati berbagai macam puisi angkatan Balai Pustaka.
• Memilih dan memilah beberapa puisi angkatan Balai Pustaka untuk dianalisis.
• Menganalisis beberapa puisi angkatan Balai Pustaka.
• Mengaplikasikan beberapa puisi angkatan Balai Pustaka Yang telah dianalisis dalam bentuk makalah.


Berbeda dengan pendekatan Analitik, pendekatan histories lebih ditekankan pada peristiwa kesejarahan serta perkembanagn kehidupan sastra.
• Membaca untuk mengatahui peristiwa kesejarahan.
• Menganalisis latar belakang peristiwa kesejarahan.
• Mengaplikasikan latar belakang peristiwa kesejarahan


KARAKTERISTIK PUISI ANGKATAN 20-AN

Karakteristik Bahasa
Pada angkatan Balai Pustaka bahasa yang sering muncul adalah bahasa melayu tinggi, bahasa melayu tinggi sulit dipahami bagi kita karena sekarang bahasa yang kita gunakan bukanlah bahasa melayu. Seperti kutipan dalam puisi Bahasa, Bangsa sebagai berikut ini:

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang

Bahasa melayu yang ada di atas misalnya, /jana bejana/ yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti hidup.
Diksi atau pemilihan kata sangat berpngaruh dalam konstruksi puisi hubunganya dengan komposisi bunyi, sebagai contoh dalam puisi”Bahasa, Bangsa” Muhammad Yamin menulis salah satu baris berbunyi: Andalasku sayang, jana bejana/ Sejakkan kecil muda taruna/ maka kata dalam baris itu tidak dpt dibolak balik karena akan merusaka kontruksinnya. Pada angkatan Balai Pustaka bahasa puisinya bersifat konotatif atau brmakna konotasi, atu memiliki kemungkinan memiliki arti lebih dari satu, seperti kutipan berikut ini

Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda

Kata /bunda/ pada kutipan diatas memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu, bisa berarti negara, bansa ataupun tumpah darah sesuai dengan koherensi makna sebelumnya. Kata konkret seperti /kecil/, /anak/, /bunda/ yang dgunakn berfungsi sebagai imaji bagi pembaca supaya berdy bayang tinggi sehingga seolah-olah merasakan sendiri. Adapaun karakteristik yang menyangkut bahasa kias yakni /tidur si anak di pangkuan bunda/. Anak disini memiliki fungsi pengganti untuk seluruh masyarakat sumatra/ seluruh bangsa.sedangkn bunda disitu mewakili seluruh nusantara , selain bahasa kias dala karakteristik juga terdapat imajeri, dan sarana retorika.
Contoh imajeri taktil /seiap saat disimbur sukar/, dan sarana retorika /bermandi darah bermandikan dendam/, yang mmbermakna hiperbola.

Karakteristik Bentuk
Ada dua hal yang penting dalam karkteristik bentuk. Yang pertama adalah pengulangan bunyi yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope.
Brikut ini kutipan puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Efefendi.

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Desis pada sebuah kata dalam puisi memberikan efek tertentu, seperti kata /bukan/ pada baris satu dan tiga,/pandai/,pada baris dua dan,/musti/ pada baris empat. Memilkim rima abab. Sedankan alitrasi dapat ditemukan dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Roestam Effendi.

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Sedangkan yang kedua adalah verifikasi yan mencangkup rima, baris atau larik, dan satuan bentuk puisi. Puisi angkatan Balai Pustaka menggunakan rima rangkai. Barisnya biasanya berisikan 14 baris karena satuan bentuk puisi ini berupa soneta.


Karakteristik Isi
Karakteristik isi puisi mencangkup tema, nada, dan suasana, perasaan dalam puisi, amanat, dan nilai puisi. Tema yang dipajkai pada ankatan Balai Pustaka berkutat pada masalah nasionalisme. Seperti yang termuat dalam puisi Bahasa Bangsa, Bukan Beta Bijak Berperi, Tanah Air, Mengeluh. Adanya pesan penyair dalam angkatan ini begitu kuat untuk bersatu,mencintai tanah air dan semangat nasinalisme.seperti dal puisi mengeluh, penyair mengungkapkan bahwa Indonesia adalah suatu keadaan yang diibaratkan bunga yang cantik menawan akan tetapi bangsanya sangat menderita karena penjajah. Kutipan puisi mengeluh,

Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam,
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam

amanat yang terkandung dalam pisi angkatan Balai Pustaka adalah adanya keinginan untuk mempersatukan bangsa untuk bisa bebas dari belnggu penjajah Hindia Belanda, sehingga Indonesia mampu hidup makmur. Nilai yang muncul pad angkatan Balai Pustaka yang diwakili oleh Muhammad Yamin dan Roestam Effendi adalah kecintaan terhadap tanah air.


HASIL APRESIASI PUISI ANGKTAN BALAI PUSTAKA
Puisi I;
Bahasa bangsa

Selagi kecil berusia muda,
Tidur sianak dipangkuan bunda
Ibu bernyanyi. Lagu dan dendang,
Memuji sianak banyaknya sedang

Berbuai sayang malam dan siang,
Buaian tergantung di tanah tuan

Terakhir dibangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri,
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka sertakan rayu,

Perasaan serikat menjadi padu,
Dalam bahasanya permain merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya

Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Dimana sumatra, disitu bangsa
Dimana perca, disana bahasa

Andalasku sayang, jana bejana,
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsapun hilang
(1920)

Dari Segi Bahasa
Dari segi bahasanya,” Bahasa Bangsa” karya Muhammad Yamin menggunakan bahasa melayu tinggi. Sedangkan diksi/pemilihan kata yang digunakan dalam puisi di atas menggunakan kata yang memiliki makna konotasi seperti yang terdapat pada: /tanah moyang/, /jana bejana/. Tanah moyang disini memiliki makna tempat kelahiran atau tempal asal usul kita dalam puisi di atas sumatera, dan jana bejana mengandung makna pertautan makna. Dalam puisi di atas terdapat kata-kata yang bersifat kongkrit , yakni: /si anak/, /bunda/, /tanah moyang/, /bangsa/, /keluarga/, /besar/, /tanah melayu/, / Sumatera/, /perca/, /andalasku/, /dan/, /pemuda/. Maksud konkrit disini digunakan untuk menekankan daya bayang. Selain itu puisi “Bahasa Bangsa” menggunakan gaya bahasa majas metonimia, yakni menyebut atribut atau merk: /perca/ dan /andalasku/. Andalasku disini mewakili nama merk. Sarana retorika yang tampak pada puisi “Bahasa Bangsa” adalah antitesis seperti yang terdapat pada kata /berduka suka/, /meratap menangis bersuka raya/, dan /dalam bahagia bala dan baya/. Imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seperti yang terdapat pada kutipan berikut.

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasannya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Dari Segi Bentuk
Puisi dibedakan menjadi dua yakni: bunyi, yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan verifikasi. Segi bentuk yang pertama dalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi.
Rima dalam puisi diatas adalah /aabb/aa/aabb/aabb/aaaa/aabbcc/.
Alitersi yang muncul terdapat pada bait kedua:

Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu

Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Bentuk puisi kedua versivikasi yang mencakup rima dan satuan bentuk. Rima yang terdapat puisi ini adalah rima rangkai. Sedangkan satuan bentuk puisinya bebas.

Dari Segi Isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana,perasaan dalam puisi, amanat serta nilai. Dalam puisi diatas mengandung tema cinta tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah keinginan yang gigih untuk menciptakan suatu persatuan kususnya di Sumatra. Perasaan puisi diatas berisi tetntang rasa cinta terhadap pulau tempat ia dilahirkan. Amanat yang terkandung dalam puisi di atas adalah rasa bersatu diwaktu senang dan susah itu diperlukan. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai kecintaan terhadap tanah air yang dalam puisi diatas diungkpan Sumatra.

Puisi II:

Bukan beta bijak berperi

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Musti menurut undangan mair

Sarat-sarat saya mugkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya susah sesaat
sebab madahan tidak nak datang
sering saya sulit menekat
sebab terkurung lukisan mamang

bukan beta bijak berlagu
dapat melemah bingkaian pantun
bukan beta berbuat baru
hanya mendengar bisikan alun

Dari Segi Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah melayu tinggi. Diksi yang digunakan pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada /budak Negeri/ yang menggandung makna orang yang dijajah Belanda(pada waktu itu). /Lagu/ yang mengandung makna karya sastra yang dibuat pengarang. /Alun/ yang mengandung makna kata-kata hati penyair. Kata-kata yang bersifat konkret juga didapati dalam puisi ini, yakni:/Beta/,/saya/,/susah/. Imajeri yang muncul adalah auditif yang tampak pada bait ke-lima.

Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.

Dari segi bentuk
Puisi ini dibedekan menjadi dua yakni bunyi dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencakup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi ini adalah /abab/acac/dede/fgfg/eded/. Aliterasi yang aada pada puisi ini, terdapat pada bait pertama yaitu:

Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair,
Bukan bet budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.


Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain:/beta/,/bijak/,/bukan/,/berperi/,/budak/. Bentuk puisi yang kedua aadalah verifikasi yang mencakup rima baris dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi ini adalah lima rangkai. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 20 baris. Satuan bentuknya adalah stanza. Penggulangan kata atau ungkapan dalam puisi diatas antara lain:/sarat-sarat/,/degup-degupan/.
Persajakan sangat menarik perhatian Roestam. Tak ada satupun sajaknya yang mengabaikan persajakan. Suatu hal yang mengembirakan adalah kesanggupanya untuk menghindari kebiasaan buruk yang lazim dalam puisi melayu.

Dari segi isi
Tema yang diangkat adalah nasionalisme. Perasaan dalam puisi ini yaitu penyair merasa terkekang serta ingin bebas halangan yang ia hadapi. Sajak ini pada dasarnya merupakan manifestasi sikap dan cita-cita angkatan muda terhadap persajakan yang lama, adat istiadat usang dan peraturan kaum penjajah yang menghalang-halangi cit-cita kebangsaan yang sedang tumbuh. Nada dan suasana puisi adalah penyair ingin meninggalkan persajakan lama dan kekangan dari penjajah Belanda. Amanat dalam puisi ini bahwa penyair menghendaki pembaca untuk mengikuti keinginan hati dan tidak terkekang pada peraturan yang dapat menghambat kemajuan.


Puisi III

Tanah air

Berpadang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau.
Berlangit bertudung awan
Burgunung berbukit, berpantai lautan
O, tanah airku, yang indah sangat.

O, tanah airku yang beta cinta
Di malam menjadi mimpi,
Disiang merayan hati,
Terkurang madahan syair
Pelagukan ihtisyim asmara kadir
O, tanah airku yang beta cinta


Dari segi bahasa
Puisi diatas menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi, seperti kutipan dibawah ini:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kata- kata yang bersifat kongkret puisi Angkatan Balai Pustaka ini,antara lain yakni:/berlembah/, /bergunung/, /berbukit/, /lautan/. Selain itu puisi Tanah Air menggunakan imajeri visual seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat



Dari segi bentuk
Kutipan puisi “Tanah Air” adalah sebagai berikut:

Berpandang katifah hijau
Berlembah, bekasan danau
Berlangit bertuduh awan,
Bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tnah airku, yang indah sangat

Kutipan di atas mengandung aliterasi, Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain: /berlembah/, dan /bekasan/;/berlangit/, dan/bertudung/: serta/bergunung/, /berbukit/, dan/berpantau/. Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima ,baris,dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi Tanah Air adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehingga satuan bentuknya adalah soneta.

Dari segi isi
Isi puisi memiliki cakupan antara lain tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi Tanah Air adalah kecintaan terhadap tanah air. Nada dan susana puisi tersebut memberikan suatu penggambaran nusantara yang indah. Perasaan dalam puisi diatas berisikan tentang ungkapan kecintaan terhadap tanah air. Amanat yang terkandung didalam puisi tersebut bahwa nusantara yang begitu kaya dan indah harus selalu dijaga. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai nasinalisme dan menumbuhkan kecintan terhadap tanah air yakni Indonesia.

Puisi IV
Mengeluh
I
Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam

Menangis mata melihat makhluk
Berharta bukan berhakpun bukan
Inilah asib negeri nanda
Memerah madu menguruskan badan

Ba’mana beta bersuka cita
Ratapan rakyat riuhan gaduh
Membobos masuk menyayu kalbuku

Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh
Menghimpit madah, gubahan cintaku


II
Bilakah bumi bertabur bunga
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Di petik jari, yang lemah lembut
Ditandai sayap kemerdekaan rakyat?

Bilakah lawan bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada terkata?

Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna syairku
Disitulah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput manikam bangsaku



Dari segi bahasa
Pada puisi diatas banyak di temukan diksi yang digunakan menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi seperti:/ suara sebat sedaan rusuh/ yang mengandung makna isak tangis. Kata-kata yang bersifat konktret juga ditemukan dalam puisi Angkatan Balai Pustaka, yakni:/beta/, /bunga/, /makam/, /darah/, /mata/, /makluk/, /negri’ nanda/, /badan/, /ra’yat/, /bumi/, dll. Selain itu, di dalam puisi Mengeluh imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seprti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini:

Bukanlah beta berpijak bunga
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar
Bermandi darah dicucurkan dendam


Dari segi bentuk
Segi bentuk dalam puisi ini dibedakan menjadi dua yakni, bunyi menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan versifikasi. Segi bentuk yang pertama adalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi. Rima di dalam puisi “mengeluh” adalah bebas. Selain itu, aliterasi ada pada kutipan berikut ini:

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, warna sa’irku

Perulangan bunyi konsonan pada utipan di atas antara lain: /baru/, /bermohon/, dan/bta/ ;/badanku/, /berkubur/, dan/ bunga/, seta/bunga/ dan/bingkisan/.
Bentuk puisi yang kedua adalah verifikasi yang mencangkup rima,baris, dan satuan bentuk. Rima yang terdapat pada puisi mengluh adalah rima bebas. Sedangkan baris atau lariknya terdiri atas 14 baris sehinga satuan bntuknya adalah soneta.

Dari Segi isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi, dan amanat serta nilai puisi. Tema puisi “mengeluh” adalah kekecewaan terhadap keadaan yang melanda tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah kesedihan yang mendalam. Perasaan dalam puisi di atas berisikan tentang ungkapan perasaan. Amanat yang terkandung di dalam puisi tersebut adalah menunjukkan
betapa negeri ini sangat tertindas sehingga lebih baik mati dari pada dijajah. Sedangkan nilai yan terkandung didalam puisi adalah nilai nasionalisme yang tidak mau terus- menerus tunduk pada penjajah karena baginya lebih baik mati dari pada dijajah.


NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Pada angkatan Balai Pustaka nilai yang terkandung dalam puisi-puisi yang dihasilkan kebanyakan lebih bersifat nasionalisme, selain puisi juga di temukan syair, seperti syair Putri Hijau dan Syair Siti aminah. Sastrawan yang tidak mau menndatangani nota ringks sprti Mohammad Yamin puisi yang dihasilkan lebi bersifat nasionalisme. Nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Mohammad Yamin adalah menumbuhkan sikap cinta tanah air. Hanya sedikit orang yang sadar bahwa kemerdekaan harus ditegakkan. Ada kalannya rasa takut terhadap penjajah di kesampingkan untuk memperoleh hak-hak kita. Untuk menegakkan kemerdekaan tersebut ditanamkan kecintaan terhadap tanah air. Cara tersebutlah yang digunakan oleh para penyair liar untuk menumbuhkan sikap nasinalisme penduduk pribumi terhadap tanah air. Persatuan merupakan bagian penting untuk mencapai suatu tujuan,baik dalam keadan bahagia maupun menderita persatuan harus tetap terjaga. Muhammad Yamin begitu menggebu untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, maka dengan media puisi ia tuangkan rasa cintannya. Seperti dalam kutipan tersebut ini;

Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya.

Dalam bait diatas nilai nasinalisme sangat melekat pada cita-cita Muhammad Yamin.
Dalam puisi Roestam Effendi yang berjudul “mengeluh” nilai nasinalisme sangat kental seperti pada kutipan berikut:


Menagis mata melihat makluk
Berharta bukan brhakpun bukan
Inilah nasib negeri nada
Memerah madu mengurus badan

Bait diatas mengungkap penderitaan karena penjajahan Belanda. Penjajah menjadikan negara Indonesia semakin menderita.






METAMORFOSA “JANCOK” (TEMAN ATAU KAWAN)
Hanif Hubbuddin A*
Kota Surabaya memiliki dialek khas Bahasa Jawa yang dikenal dengan Boso Suroboyoan. Begitu juga kata jancok yang muncul di kota surabaya memiliki konteks kesurabayaan yang sangat kental. Sehingga untuk memahami makna kata tersebut seseorang harus memahami konteks budaya Surabaya. Karena kata jancok yang dilahirkan di surabaya tersebut sedang mengalami proses pergeseran makna seiring dengan berkembangnya budaya Surabaya.
Kita sering mendengar atau barang kali mengucapkan kata jancok ini. Kata ini terkenal saru, dan populer dikalangan masyarakat Jawa Timur. Tidak sopan, memaki dan sebagainya inilah yang disandang oleh kata satu ini. Kata ini selalu muncul dalam kondisi sedang marah, kecewa, mengancam, bahkan bisa juga dalam berbagai situasi keakraban, dengan catatan keakraban yang ekstra akrab antar teman dekat.
Secara linguistik kata Jancok berasal dari kata 'encuk' yang memiliki padanan kata bersetubuh atau fuck dalam bahasa Inggris. Kata Jancok berasal dari frase 'di-encuk' menjadi 'diancok' lalu 'dancok' hingga akhirnya menjadi kata 'jancok'. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘jancuk’ ini lebih kurang artinya serupa dengan ‘kurangajar’, ‘brengsek’, ‘bangsat’ dan segala isi kebun binatang. Akan tetapi penggunaan kata inipun bisa berkonotasi akrab, khususnya diwilayah Surabaya. Sedangkan untuk daerah Jawa Timur bagian barat, kata ini biasa diperhalus menjadi ‘Diancuk’.
Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa kata-kata jancuk merupakan kata-kata keramat arek-arek suroboyo dalam mengusir penjajah. Ejaan lama kata jancuk adalah “DjanTjuk”. Yang berarti ” DJANdji seTija Untuk…”. Dalam suasana dijajah, tentu yang diharapkan adalah kemerdekaan. Maka muncullah ” Djandji setija untuk merdeka”. Disingkat DjanTjuk MERDEKA. Dan inilah konon yg membangkitkan semangat arek-arek suroboyo dalam menumpas penjajah.
Varian-varian dari Jancuk adalah diancuk, diamput, jamput, jangkrik, dan mbokne ancuk. Jangkrik merupakan pengalihan atau penghalusan dari kata jancuk, berkategori makian juga, agar masih bisa disebut orang yang sopan. Tapi kalau sudah ingin memaki karena betul-betul sudah sangat marah, pasti yang dipakai jancuk, bukannya jangkrik.
Demikian juga dengan jamput dan diamput. Ini levelnya antara jancuk dan jangkrik. Per vokal, sudah mendekati jancuk makian nan kasar, tetapi dibungkus dengan akhiran yang rada sopan. Ini terlihat dari pemilihan kata ‘put’ yang masih membuat bentuk bibir terlihat manis. Pada diamput maupun jamput masih ada upaya untuk menekan makian agar tak terlalu kasar. Lebih-lebih bagi mereka yang memiliki status sosial menengah ke atas. Atau, pada saat berada di kerumunan kelompok ini. Biasanya juga diucapkan secara perlahan.
Di wilayah Malang, kata ‘jancuk’ biasanya benar-benar untuk memaki dan dengan penekanan di bagian kata ‘cuk’-nya. Tetapi karena dipandang terlalu kasar, akhirnya dimodifikasi dengan kata ‘jancik’. Sering kata ini disingkat dengan ‘cuk’.
Penerapan kata “jancuk” memang bisa dipakai di dua tempat berbeda yang uniknya justru sangat bertolak belakang kondisinya. Kata jancuk bisa dipakai untuk orang yang marah dan sekaligus bisa dipakai untuk salam persahabatan dan pertemanan. Contohnya sebagai berikut‘Jancuk koen iki! Ngono ae gak iso’ (ungkapan jengkel) atau dalam situasi akrab ‘Yok opo cuk kabarmu?.
Kata jancuk juga bisa digunakan untuk mengekspresikan penekanan pada sesuatu. Baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Contoh yang negatif : ” jancuk elek-e gambar iku”. Ini menandakan bahwa gambar tersebut benar-benar jelek dan bahkan sangat jelek. contoh positf : ” jancuk, ayune arek iku”. Ini menandakan bahwa cewek tersebut memang sangat cantik.
Akhiran 'cok' atau 'cuk' bisa menjadi kata seru dan kata sambung bila penuturnya kerap menggunakan kata jancok dalam kehidupan sehari-hari. "Wis mangan tah cuk. Iyo cuk, aku kaet wingi lak durung mangan yo cuk. Luwe cuk.". Atau "Jancuk, maine Manchester United mambengi uelek cuk. Pemaine kartu merah siji cuk."
Menurut Roger Fowler dkk (dalam Eriyanto,2008:134) kata merupakan alat untuk memahami realita dunia. sebab kata memiliki dimensi sosial, dan budaya di mana ia diciptakan dan di mana ia dituturkan. Sehingga kata tidak bisa sembarangan untuk digunakan.
Begitupun juga dengan kata Jancok. Kata itu memilik corak dimensi sosial dan budaya Surabaya yang egaliter dan keterbukaan. Dan secara konvensi masyarakat Surabaya kata tersebut dipakai untuk menjadi kata umpatan pada saat emosi meledak, marah atau untuk membenci dan mengumpat seseorang.
Namun, kata itu memiliki sebuah sikap yang dinamis sebab sistem budaya dan sosial masyarakat juga terus berkembang seiring dengan bergantinya zaman. Oleh karena itu, konvensi-konvensi makna kata juga selalu mengalami perubahan makna baik makna meluas maupun makna menyempit. Baik ameliorasi maupun peyorasi.
Ketika orang merasa geli campur sewot mendengar kata ini, “jancuk” menjadi inspirasi bagi kalangan kampus. Sebut saja ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya), tidak sedikit mahasiswa tersebut mengumbar kata-kata itu selagi ngobrol, bercanda, bersapa dan aktivitas lainnya. Setelah dipopulerkan dari mulut ke mulut, tidak sedikit mahasiswa bahkan kalangan pelajar menjadikan kata “Jancok” sebagai inspirator dan motivator dalam belajar untuk meraih cita-cita. Sudah banyak jebolan ITS menduduki pucuk pimpinan instansi, organisasi, bahkan birokrat di negeri ini. Sebut saja Bapak Menteri Komunikasi kita. Singkat kata, yang dimaksud oleh mahasiswa ITS kata “Jancuk” adalah (Jadilah Anak Negara Cerdas Ulet Kreatif). Bebas dan sah mengumandangkan slogan, selagi bermakna, mengapa tidak.
Bahkan sekarang ini, di surabaya sudah ada komunitas yang sapaannya biasa menggunakan kata umpatan tersebut. Sebagaimana komunitas jancokers ITS, komunitas Jancokers Stikom, komunitas jancokers Unair, kamunitas jancokers UPN dan komunitas jancokers Unitomo di Surabaya. Ada juga yang baru-baru ini, nasi goreng “jancok”. Ide pembuatan nasi goreng jancuk ini berawal dari cerita Executif Chief Surabaya Plasa Hotel, cak Eko Sugeng Purwanto. Saat itu, Eko dan para head department surabaya plasa hotel sedang kumpul di cafe dan dalam kondisi sangat lapar atau lapar berat. Nah, teman-temannya tersebut meminta Eko untuk membuatkan nasi goreng. Tapi nasi goreng ini harus beda dari biasanya. Karena sangat capek sambil membuat nasi goreng dia mengeluarkan kata-kata jancuk. Dan jadilah sampai sekarang nasi goreng jancuk.
Dan yang paling terbaru adalah adanya film Grammar Suroboyoan yang dibuat oleh mahasiswa ITS. Dalam film tersebut terdapat kata-kata jancuk. Namun dalam film grammer Suroboyo yang sudah keluar 3 episode ini memiliki makna yang berbeda. Kata umpatan tersebut bahkan beralih fungsi menjadi kata sapaan dan keakraban. Keakraban antara Suro yang santun dan Boyo yang sangat kaku dan sering mengucapkan kata-kata jancuk. Secara operasional dan kontekstual dialog dalam film tersebut dilakukan oleh dua sahabat karib yang telah lama tidak bertemu dan belum mengetahui keadaan dan status sosial masing-masing di telpon. Dan kultur yang ada dalam dialog tersebut adalah kultur orang-orang Surabaya.
Dari segi kajian sosiolinguistik dipelajari tentang Kesantunan Bahasa. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”. Di daerah Jawa bagian barat misal, Madiun Ponorogo atau Magetan kata jancuk ini masih dianggap kata saru jika didengar oleh telinga. Anggapan oleh masyarakat di sana orang yang mengucapkan kata ini biasanya anak-anak nakal yang tidak pernah diajari anggah ungguh.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etika yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Jadi, jika kita mau menyapa teman karib dengan “cuk” itu bisa dikatakan santun, asal tidak membuatnya marah.
Pada kebanyakan masyarakat, khususnya daerah Mataraman dan Ponorogoan kata-kata jancuk dan variannya merupakan kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” dan “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
Hal inilah yang membedakan dengan masyarakat Surabaya yang memiliki sifat egaliter dan terus terang dalam berbicara sangat sedikit merasakan adanya sebuah tabu bahasa. Sehingga bahasa yang digunakan cenderung kasar jika dibandingkan dengan bahasa yang digunkan oleh masyarakat sekitar keraton, seperti masyarakat daerah yogyakarta, solo Mataraman, Ponorogoan dan sebagainya. Begitupun juga dengan kata Jancok. Kata itu memilik corak dimensi sosial dan budaya Surabaya yang egaliter dan keterbukaan.
Hal ini karena letak geografi Surabaya yang sangat jauh dari keraton. Dan merupakan daerah bekas markas VOC. Sehingga iklim yang ada di daerah tersebut cenderung kasar. Sebab yang terbentuk adalah masyarakat perdagangan dan pekerja kasar. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan terkesan berbeda dengan bahasa jawa yang ada di daerah lingkungan keraton yang masih sangat kental dengan nuansa kekeratonan yang feodal.
Bahasa Suroboyan ini memang cenderung apa adanya. Dalam mengucapkan kata-kata sehingga membentuk kalimat orang Surabaya terkesan efisien. Mereka tidak membutuhkan banyak kata untuk mendeskripsikan sesuatu hal atau keinginan mereka, tak heran pula kalau orang Surabaya sedikit gagap jika disuruh mendeskripsikan tentang suatu hal apalagi menggunakan berbahasa Indonesia.
Dialog orang Surabaya memang terdengar sangat kasar dan keras. Mungkin saya sebagai orang jawa (Ponorogoan), sangat risih mendengar kata - kata kasar seperti Jancuk misalnya. Namun dibalik semua itu kita bisa merasakan rasa keakraban dalam kata-kata yang diucapkan. Walaupun bahasanya kasar tetapi sebagian besar orang Surabaya atau lebih umumnya kaum Are’kan itu baik hati. Yang paling penting adalah jangan sampai mengucapkan kata-kata ini kepada orang yang belum akrab dengan kita dan yang lebih penting jangan sampai mengucapkannya dengan orangtua kita sendiri.








*Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah fakultas sastra Universitas Negeri Malang dan pemerhati pendidikan.






















PENUTUP
KESIMPULAN
Puisi angkatan Balai Pustaka pada umumnya bertemakan nasionalisme, cinta tanah air. Puisi-puisi angkatan ini bertujuan memberikan semangat pada seluruh pribumi untuk mencintai tanah airnya. Betapa tidak enak jika hak-hak kita selalu di ambi orang/ penjajah.
Pada masa ini merupakan masa bangkitnya pengarang-pengarang untuk mengungkapkan isi hatinya demi negara walau pada masa ini adalah masa yang sulit karena adanya kekangan dari penjajahan. Selain itu adanya batasan karya yang menghambat perkembangan sastra kususnya yang berbau nasionalisme demi memperoleh hak-hak yang semestinya.





















Daftar Pustaka

Alisjahbana, S Takdir. 1978. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: CV. Sinar Baru
Enre, Fachrudin Ambo. -------. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa
20-an. Jakarta: Gunung Agung
Harnoko, Dik. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Rosidi. Ajib. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Sarjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Waluyo, Herman.J. -------. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar